
nubangkalan.or.id—Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah, bulan ini menjadi bulan paling utama di urutan pertama untuk dibuat beribadah puasa setelah puasa fardhu (Ramadhan), sehingga beribadah puasa di bulan ini memadukan antara ibadah paling utama yaitu puasa, dan waktunya yang juga utama yaitu di bulan Muharram.
Selain itu, disamping dalam sebulan ini menjadi waktu yang sangat dianjurkan untuk berpuasa sunnah, ada satu hari yang anjurannya lebih ditekankan dari yang lainnya dan mempunyai keutamaan secara khusus sehingga menjadi semakin istimewa, yaitu puasa Tasua dan Asyura, keduanya ada di bulan Muharram.
Dimulai dari Asyura terlebih dahulu, mengingat Asyura adalah yang lebih berperan penting dan bahkan menjadi alasan disunahkannya puasa Tasua.
Asyura adalah hari kesepuluh dalam kalender Hijriah Muharram, hari yang menjadi waktu pertama kali turunnya hujan itu juga menjadi waktu terjadinya beberapa peristiwa yang sejarahnya diabadikan hingga saat ini, membuatnya menjadi hari yang semakin bersejarah dalam syariat Islam, bulan itu juga menjadi waktu puasa wajibnya orang-orang Bani Israil.
Alasan di balik penamaan hari Asyura ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan karena hari itu adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram, ada juga yang berpendapat karena di hari itu Allah memberikan kemulian kepada banyak umat-Nya, serta ada yang mengatakan, karena dihari itu Allah memberikan sepuluh kemulian kepada sepuluh orang dari golongan nabi.
Keterangan ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Rif’ah dalam kitab Kifāyah an-Nabīyah fī Syarhit Tanbīh.
Disunahkannya puasa Asyura berlandaskan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
عَنْ أَبي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ.
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang keutamaan berpuasa pada hari Asyura, lalu beliau menjawab: Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).
Berlandasan hadis ini, dalam kitab I’ānatut Thālibīn kemudian diputuskan bahwa puasa Asyura hukumnya sunnah Mu’akkadah (sangat sunnah), sehingga sangat dianjurkan bagi semua umat Muslim untuk tidak melewatkan kesempatan yang ada di tanggal 10 Muharram tersebut.
Selain menjadi dalil dianjurkannya puasa Asyura, hadis ini juga mencerminkan hal-hal yang akan didapatkan oleh orang-orang yang melaksanakannya, yaitu berupa dihapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan dalam waktu setahun yang lalu. Meski yang dimaksud adalah dosa kecil, tapi jika terus diamalkan maka dosa-dosa kecilnya akan habis dan yang besar pun juga ikut terkikis.
Puasa Asyura dapat melebur dosa kesalahan selama setahun yang lalu, sementara puasa Arafah melebur kesalahan dua tahun lamanya (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), padahal jika dipikirkan sekilas, harusnya Asyura lebih unggul mengingat waktu pelaksanaannya ada di bulan yang paling mulia dan utama.
Alasan dibalik hal tersebut masih sangat rasional dan sangat bisa dibenarkan atau bahkan sudah seharusnya, yaitu karena hari Arafah disebut hari Muhammadiyun, yakni berpuasa di hari Arafah hanya khusus untuk umat Nabi Muhammad ﷺ, sehingga pahalanya dilipatgandakan, sementara hari Asyura disebut dengan hari Musawiyun, yakni waktu berpuasanya umat Nabi Musa As.
Umat Nabi Muhamad ﷺ sebagai umat yang paling mulia lantaran nabinya yang menjadi pemimpin dari nabi yang lain, sudah sepatutnya mendapat imbalan dua kali lipat dalam ibadah yang berkaitan dengan umat nabi Muhamad ﷺ. Keterangan ini tertera dalam kitab I’ānatut Thālibīn:
(فائدة) الحكمة في كون صوم يوم عرفة بسنتين وعاشوراء بسنة، أن عرفة يوم محمدي – يعني أن صومه مختص بأمة محمد – صلى الله عليه وسلم – – وعاشوراء موسوي، ونبينا محمد أفضل الأنبياء – صلوات الله عليهم أجمعين – فكان يومه بسنتين
Artinya: “Faedah. Hikmah adanya puasa Arafah (dapat melebur dosa) dua tahun, sementara Asyura hanya setahun, sungguh Arafah itu adalah hari Muhammadiyun—artinya kesunahan puasanya khusus umat Nabi Muhamad ﷺ—, sedangkan Asyura adalah hari Musawiyun, dan Nabi Muhamad adalah nabi paling utama secara keseluruhan, maka harinya (yang khusus umat nabi Muhamad) sebanding dengan dua tahun.” (Syekh Abu Bakr Syata. I’ānatut Thālibīn. Juz 2, halaman 301)
Selain puasa Asyura, ada juga puasa Tasua, yaitu berpuasa ditanggal sembilan pada bulan Muharram. Puasa Tasua juga tak kalah penting karena sangat erat kaitannya dengan puasa Asyura, sehingga juga harus diperhatikan dan tidak diremehkan.
Adapun alasan disyariatkannya puasa Tasua yang dilakukan sebelum puasa Asyura adalah agar orang yang menjalankan ibadah puasa Asyura tidak serupa dengan orang-orang Yahudi yang ibadah puasanya juga di tanggal 10 Muharram. Dengan alasan ini, orang yang tidak puasa di hari Tasua (tanggal 9 Muharram) maka dianjurkan untuk berpuasa sehari setelah puasa Asyura (tanggal 11 Muharram). Keterangan ini diambil dari kandungan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radiyallāhu ‘anhumā, berupa hadis marfū’: (Rasulullah berkata), berpuasalah kalian di hari Asyura dan berbedalah dari orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad)
Berangkat dari hadis ini, Syekh Abu Bakr Muhamad Syatha menjelaskan dalam kitab I’ānatut Thālibīn bahwa sekalipun sudah melaksanakan puasa sebelumnya (Tasua) maka masih tetap disunahkan untuk berpuasa sehari setelahnya.
Beliau juga sempat menambahi hikmah di balik disyariatkannya puasa Tasua. Beliau berkata bahwa puasa sehari sebelum Asyura (puasa Tasua) adalah bentuk berhati-hati (Ihtiyāth) dalam menjalankan puasa Asyura, mengingat bisa saja terjadi kesalahan dalam penetapan awal tanggal bulan Muharram yang menyebabkan kekeliruan dalam penetapan hari Asyura. Selain itu, juga agar tidak menyendirikan puasa Asyura yang dapat terjerumus pada hukum makruh sebagimana puasa sehari, pada hari Jumat saja.
Penulis: Amir Ibrahim/Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Tepa’nah Barat Durjan Kolop Bangkalan Jawa Timur
Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Comment here