KEISLAMANKisah Hikmah

Asal Usul Tradisi Bubur Suro

Asal Usul Tradisi Bubur Suro

nubangkalan.or.id—Indonesia adalah negeri yang kaya akan tradisi dan budaya. Keberagaman adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku dan daerah mencerminkan betapa luasnya warisan budaya bangsa yang dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, sejarah, dan kearifan lokal.

Salah satu tradisi yang menarik dan masih lestari hingga kini, khususnya di kalangan masyarakat Jawa dan beberapa daerah lain di Nusantara, adalah tradisi pembuatan dan pembagian Bubur Suro yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah atau dikenal juga dengan sebutan hari Asyura.

Bubur Suro berasal dari kata “Suro” yang merupakan sebutan dalam bahasa Jawa untuk bulan Muharram. Adapun bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam. Ia adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriah yang mengandung banyak keutamaan dan peristiwa sejarah penting.

Di dalamnya terdapat anjuran untuk melakukan amalan-amalan khusus, seperti berpuasa, memperbanyak sedekah, menyantuni anak yatim, serta mengingat kembali kisah-kisah besar para nabi dan pejuang Islam. Dalam konteks inilah tradisi Bubur Suro menjadi lebih dari sekadar sajian kuliner, ia merupakan bentuk refleksi spiritual, ekspresi syukur, dan sarana mempererat hubungan sosial antar warga.

Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Bubur Suro disiapkan dengan penuh kekhusyukan dan diiringi oleh doa-doa, dzikir, bahkan tahlilan, sebagai bentuk permohonan kepada Allah ﷻ agar diberikan keberkahan, keselamatan, dan dijauhkan dari segala bala dan musibah dalam menjalani tahun baru Hijriah.

Tidak jarang pula tradisi ini menjadi momen untuk berbagi kepada sesama, terutama kepada anak-anak yatim dan kaum dhuafa, yang mana hal ini sejalan dengan anjuran syariat Islam.

Namun, apakah tradisi Bubur Suro ini sudah sesuai dengan ajaran islam? Dijelaskan dalam kitab I’ānatut Thālibīn, Juz 2, Halaman 302, saat peristiwa keluarnya Nabi Nuh As, sebagai berikut:

(ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﺃﺧﺮﺝ ﻧﻮﺣﺎ ﻣﻦ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ) ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻧﻮﺣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻟﻤﺎ ﻧﺰﻝ ﻣﻦ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻫﻮ ﻭﻣﻦ ﻣﻌﻪ ﺷﻜﻮا اﻟﺠﻮﻉ، ﻭﻗﺪ ﻓﺮﻏﺖ ﺃﺯﻭاﺩﻫﻢ ﻓﺄﻣﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﺄﺗﻮا ﺑﻔﻀﻞ ﺃﺯﻭاﺩﻫﻢ، ﻓﺠﺎء ﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﺣﻨﻄﺔ، ﻭﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﻋﺪﺱ، ﻭﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﻓﻮﻝ، ﻭﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﺣﻤﺺ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺑﻠﻐﺖ ﺳﺒﻊ ﺣﺒﻮﺏ – ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮاء – ﻓﻤﺴﻰ ﻧﻮﺡ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻭﻃﺒﺨﻬﺎ ﻟﻬﻢ، ﻓﺄﻛﻠﻮا ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻭﺷﺒﻌﻮا، ﺑﺒﺮﻛﺎﺕ ﻧﻮﺡ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ

Artinya: “Allah mengeluarkan Nabi Nuh As dari perahu. Ketika berlabuh dan turun dari kapal, Nabi Nuh As bersama orang-orang yang menyertainya merasa lapar, sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh As memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka.

Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful,ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul tujuh macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh As membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh As.”

Kisah serupa juga dijelaskan dalam kitab Nihāyatuz Zain, halaman 196, sebagai berikut:

ﻭﺣﻜﻲ ﺃﻥ ﻧﻮﺣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ ﻟﻤﺎ اﺳﺘﻘﺮﺕ ﺑﻪ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭاء ﻗﺎﻝ ﻟﻤﻦ ﻣﻌﻪ اﺟﻤﻌﻮا ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻣﻌﻜﻢ ﻣﻦ اﻟﺰاﺩ ﻓﺠﺎء ﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﻣﻦ اﻟﺒﺎﻗﻼء ﻭﻫﻮ اﻟﻔﻮﻝ ﻭﻫﺬا ﺑﻜﻒ ﻣﻦ اﻟﻌﺪﺱ ﻭﻫﺬا ﺑﺄﺭﺯ ﻭﻫﺬا ﺑﺸﻌﻴﺮ ﻭﻫﺬا ﺑﺤﻨﻄﺔ ﻓﻘﺎﻝ اﻃﺒﺨﻮﻩ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻓﻘﺪ ﻫﻨﺌﺘﻢ ﺑﺎﻟﺴﻼﻣﺔ ﻓﻤﻦ ﺫﻟﻚ اﺗﺨﺬ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻃﻌﺎﻡ اﻟﺤﺒﻮﺏ ﻭﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﺃﻭﻝ ﻃﻌﺎﻡ ﻃﺒﺦ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ اﻷﺭﺽ ﺑﻌﺪ اﻟﻄﻮﻓﺎﻥ ﻭاﺗﺨﺬ ﺫﻟﻚ ﻋﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭاء

Artinya: “Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh As ketika kapalnya berlabuh dengan selamat pada hari Asyura (10 Muharram), beliau berkata kepada orang-orang yang bersamanya, kumpulkanlah bekal makanan yang masih tersisa pada kalian. Maka seseorang datang membawa segenggam kacang baqila’ (sejenis kacang ful), ada yang membawa segenggam biji adas, ada yang membawa beras, ada yang membawa gandum , ada yang membawa gandum. Lalu Nabi Nuh As berkata, masaklah semuanya bersama-sama, karena kalian telah selamat dengan rahmat Allah.

Sejak saat itulah kaum Muslimin menjadikan makanan dari campuran berbagai biji-bijian itu sebagai hidangan khusus pada hari Asyura, dan makanan tersebut dianggap sebagai makanan pertama yang dimasak di muka bumi setelah banjir tufan. Maka tradisi itu dijadikan kebiasaan (adat) di hari Asyura.”

Kesimpulannya, mengacu pada keterangan di atas, maka tradisi yang berkembang di tengah masyarakat berkaitan dengan membuat Bubur Suro itu ada landasannya, sesuai sejarah Islam yang terjadi kepada nabi Nuh As. Wallāhu a’lam!

Penulis: Ibrahim/Santri Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Tepa’nah Barat, Durjan, Kokop, Bangkalan & Pegiat Bahtsul Masail MWC NU Tambelangan
Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan

Comment here