
nubangkalan.or.id—Safar atau bepergian merupakan salah satu rukhshah (kemurahan) bagi umat Muslim. Sehingga, bagi setiap Muslim diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Artinya, saat dia safar, boleh membatalkan puasanya jika tidak mampu. Akan tetapi, jika mampu tetap lebih utama berpuasa. Syekh Nawawi Banten dalam kitab Kāsyifatus Sajā menguraikan:
وَالصَّوْمُ لِلْمُسَافِرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ِلأَنَّ فِيْهِ بَرَاءَة َلذِّمَّةِ فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ بِأَنْ لَحِقَهُ مِنْهُ نَحْوُ أَلَمٍ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَادَةً فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ أَمَّا إذَا خَشِيَ مِنْهُ تَلَفَ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ فَيَجِبُ الْفِطْرُ فَإِنْ صَامَ عَصَى وَأَجْزَأَهُ.
Artinya: “Bagi musafir lebih utama berpuasa daripada tidak berpuasa apabila tidak memberatkan baginya. Sebab, dengan dia berpuasa bisa menghilangkan beban kewajibannya. Namun, jika terlalu berat, misalnya dia akan merasakan sakit yang berat untuk dipikulnya, maka lebih utama tidal berpuasa. Bahkan, jika khawatir merusak manfaat anggota badannya, wajib baginya tidak berpuasa. Andaikan dia tetap memilih berpuasa, puasanya sah, tapi dia bermaksiat.”
Namun demikian, rukhshah ini berlaku bagi selain mereka yang tidak selalu safar (mudīmus-safar), misalnya para sopir yang selalu ada di perjalanan. Jadi, bagi para sopir sejati tidak boleh untuk tidak berpuasa. Akan tetapi, apakah tidak ada peluang untuk diperbolehkan? Ada. Perhatikan uraian berikut.
وَيسْتَثْنَى مِنْ جَوَازِ الْفِطْرِ بِالسَّفَرِ مُدِيْمُ السَّفَرِ فَلاَ يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ ِلأَنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِسْقَاطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلَّيَّةِ إِلاَّ أَنْ يَقْصِدَ قَضَاءً فِيْ أَيَّامٍ أَخَرَ فِيْ سَفَرِهِ وَمِثْلُهُ مَنْ عَلِمَ مَوْتَهُ عَقِبَ الْعِيْدِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الصَّوْمُ إِنْ كَانَ قَادِرًا فَجَوَازُ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِنَّمَا هُوَ فِيْمَنْ يَرْجُوْ إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَهَذَا هُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ السُّبُكِيُّ وَاسْتَظْهَرَهُ فِي النِّهَايَةِ اهـ(إعانة الطالبين الجزء الثانى صحـ : ٢٦٧ مكتبة دار الفكر)
Artinya: “Orang yang selalu safar (seperti sopir) merupakan contoh yang dikecilkan dari kebolehan ifthār (tidak berpuasa). Alasan tidak boleh ifthār karena mengakibatkan dia meninggalkan kewajiban sama sekali. Dia diperbolehkan ifthār jika ada niat untuk menggantinya pada lain hari pada waktu safarnya.
Hukumnya sama dengan kasus ini, yaitu seorang yang diketahui akan wafat setelah Idulfitri, yakni sama-sama wajib berpuasa apabila mampu. Kebolehan tidak berpuasa (di bulan Ramadan) bagi musafir hanya berlaku bagi dia yang ada harapan untuk menggantinya. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Subki dan termaktub dalam kitab an-Nihāyah.”
Melihat dari uraian ini, hukum asal sopir sejati tidak boleh ifthār, wajib berpuasa. Namun, jika ada niat dan ada kesempatan untuk menggantinya pada saat safar selain di bulan Ramadan, diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Jadi, kebolehan para sopir tidak berpuasa ada dengan syarat berniat untuk menggantinya dan ada waktu untuk menggantinya pada waktu safanya.
Di samping pendapat di atas, dalam kasus sopir, Imam Ibnu Hajar memperbolehkan dengan tanpa embel-embel, sebagaimana penjelasan yang dikutip dalam kitab yang sama oleh Syekh Nawawi Banten.
وَمَحَلُّ جَوَازِ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِذَا رَجَا إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَإِلاَّ بِأَنْ كَانَ مُدِيْمًا لَهُ وَلَمْ يُرْجَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ الْفِطْرُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ ِلأَدَائِهِ إِلَى إِسْقاَطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَّةِ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ بِالْجَوَازِ …. اهـ
Artinya: “Kebolehan para musafir tidak berpuasa jika ada harapan untuk menggantinya (di lain waktu). Jika tidak ada harapan, contoh dalam kasus orang yang selalu bepergian, maka bagi tidak boleh ifthār menurut pendapat muktamad. Sebab, mengakibatkan dia meninggalkan kewajiban sama sekali. Namun, Imam Ibnu Hajar menyatakan boleh ….”
Kesimpulannya, rukhsah safar berlaku bagi setiap Muslim. Dalam konteks ini adalah safar yang tidak ada unsur maksiat. Dalam kasus puasa bagi musafir, dia boleh menggunakan rukhsha ini dengan tidak berpuasa. Akan tetapi, berpuasa baginya lebih utama jika dia kuat dalam menjalankannya, seperti perincian di muka.
Khusus mudīmus-safar, seperti para sopir, ada dua pendapat. Dia tetap wajib berpuasa. Artinya rukhsah ini tidak berlaku baginya, sebagaimana uraian di atas. Namun, Imam Ibnu Hajar menyatakan boleh-boleh saja, boleh tidak berpuasa. Wallāhu a’lam!
Rujukan:
– Syekh Abu Bakar Syatha. I’ānatu at-Thālibīn. Juz 2, halaman 267. Maktabah Darul Fikr; dan
– Syekh Nawawi Banten. Kāsyifatus Sajā. Halaman … Maktabah Dar al-Kutub al-Islāmiyah.
Penulis & Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Comment here