
nubangkalan.or.id—Semua orang pasti pernah merasakan sakit, tapi tidak semuanya mampu sabar atas rasa sakit yang menimpanya. Bagi yang sabar, biasanya ditandai dengan tidak mengeluh dan tidak mengadukan sakitnya kepada orang lain. Dan yang tidak sabar biasanya ia sering mengeluh dan mengadu kepada orang lain seakan ingin menampakkan ketidakterimaannya dengan takdir Tuhan.
Lalu bagaimana sebenarnya hukum menceritakan sakit yang menimpa kita kepada orang lain?
Para Ulama sudah membahas panjang lebar tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa yang lebih utama bagi orang yang sakit jika ia tidak ingin berobat untuk menyimpan rasa sakitnya. Artianya, tidak perlu diceritakan pada orang lain, kecuali ada tujuan-tujuan tertentu untuk menceritakannya.
Misalnya dia termasuk deretan seseorang yang memandang suatu penyakit itu adalah suatu nikmat dari Allah ﷻ. Sehingga, ia menceritakannya bukan karena ingin mengeluh ataupun untuk mengadu kepada orang lain. Akan tetapi, dalam rangka untuk melegekan hati. Maka hal itu baik untuk dilakukan, tapi harus dengan hati yang rida.
Sebagaimana Ketika Nabi Muhammad ﷺ ditanya oleh Malaikat Jibril tentang keadaannya saat beliau sakit sebelum wafat. Beliau bersabda:
أجدني يا جبريل مغموما وأجدني يا جبريل مكروبا
Artinya: “Aku sedang susah wahai Jibril”
Menceritakan rasa sakit kepada orang lain terkadang bisa melegakan hati. Rasanya lebih tenang saat mengadu kepada orang lain. Akan tetapi, bukankah kita mengakui bahwa tidak semua orang menyukai kita. Boleh jadi orang yang menjadi pendengar dari pengaduan sakit kita, ia sebenarnya tidak suka . Dan tidak jarang mereka yang mendengarkan pengaduan kita melontarkan ucapan-ucapan yang tidak kita sukai.
Jadi, itu sebagian alasan kenapa sebagian Ulama tidak suka mengadukan rasa sakitnya kepada orang lain. Bahkan, saat sakit, sebagian dari mereka menutup pintu rumahnya supaya tidak ada satu orang pun yang menjenguknya sampai mereka sembuh tanpa ada seorang pun yang mengetahui bahwa ia sakit. Mereka mengatakan, “Aku lebih suka sakit tanpa ada orang yang menjengukku”. Ada Hadits yang menerangkan begini:
Artinya: “Ketika seorang hamba sedang sakit, Allah memerintahkan kepada dua Malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku, apa yang ia katakan kepada para penjenguknya. Jika ia memuji Allah dan menyebut kebaikan, maka doakanlah ia. Akan tetapi, jika ia mengadu, dan menyebut kejelekan maka jangan doakan’.”
Ada sebagian Ulama yang tidak suka menjenguk orang sakit. Khawatir orang yang sakit tersebut malah mengeluh dan mengadu kepada mereka. Dan mereka juga khawatir ia akan menceritakan semua rasa sakit yang telah menimpanya. Yang akhirnya ia akan melupakan semua nikmat Tuhan yang telah ia rasakan sebelumnya.
Meskipun dengan semua pertimbangan di atas, bukan berarti kita dilarang sepenuhnya mengadukan rasa sakit kita kepada orang lain. Sebagaimana yang penulis singgung sebelumnya, bahwa mengadukan rasa sakit pada orang lain itu boleh-boleh saja, jika ada tujuan yang dibenarkan.
Misalnya ia menceritakan sakitnya hanya supaya didoakan oleh orang lain atau dalam rangka tahaduts binni’mah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Dan hatinya tetap menerima atas takdir Tuhan. Sebab, sejatinya rasa sakit yang menimpa kita itu adalah suatu nikmat. Nikmat berupa pahala yang sangat besar, dan terhapusnya dosa-dosa kita kepada Allah ﷻ.
Lagi pula, mengadu rasa sakit atau musibah itu bukan berarti dianggap tidak sabar. Sebab, antara sabar dengan mengadu rasa sakit itu dua hal yang mungkin-mungkin saja dilakukan secara bersamaan. ArArtinya, bisa saja orang yang menceritakan musibahnya kepada orang lain, tapi hatinya tetap sabar dan menerima atas takdir Allah ﷻ. Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Daqiqi al-‘Id dalam kitabnya, Syarah Arba’in Nawawi, berikut:
فأما إظهار البلاء على وجه الشكوى فلا ينافي الصبر قال الله تعالى في حق أيوب عليه السلام: {إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ} مع أنه قال: {أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ} والله أعلم.
Artinya: “Menampakkan suatu musibah atas dasar mengadu bukan berarti tidak sabar. Sebagaimana firman Allah Taala: ‘Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baiknya hamba, sungguh dia taat kepada Allah’.”
Sedangkan Nabi Ayyub mengadukan rasa sakitnya. Ia berkata, “Wahai Tuhanku. Sungguh aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Tuhan yang Maha Penyayang dari semua penyayang.”
Selain itu, Imam Hasan al-Bashri mengatakan, “Ketika seorang yang sakit memuji Allah dan ia bersyukur kepada-Nya. Dan ia menceritakan sakit yang dialaminya pada orang lain, maka ia tidak dikatakan mengadu rasa sakit”
Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah memberitahukan tentang penyakitnya ketika beliau ditanya. Akan tetapi, kemudian ketika ia mengetahui apa yang dikatakan Imam Hasan al-Bashri tersebut. Beliau akhirnya memuji kepada Allah dan berkata, “Aku merasakan ini dan itu.”
Alhasil, mengadu rasa sakit kepada orang lain tidaklah mengapa. Asalkan ada tujuan yang jelas dan dibenarkan dan tetap rida.
Rujukan:
– Abu Thālib al-Makkī. Qūtul Qulūb Fī Mu’āmalatil Mahbūb; dan
– Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi. Nashā’ihul ‘Ibād.
Penulis: Mohammad Farid/ Santri Aktif Kelas 3 Aliyah PP. Nurul Cholil Bangkalan.
Editor: Syifaul Qulub Amin/ Pengurus LTN PCNU Bangkalan.
Comment here