Kajian

Menyikapi Perkara Gaib dengan Kejernihan Hati

Agama tidak melulu harus diselaraskan dengan akal. Walaupun keduannya dibanyak kasus saling menguatkan. Seperti penggalan pengertian akal, ia memiliki batas yang tidak bisa ditembus olehnya. Salah satunya adalah perkara gaib. Akal sama sekali tidak meiliki peran dalam menyikapi perkara gaib. Maksudnya, ada beberapa perkara yang tidak bisa dirasionalkan, termasuk di dalamnya adalah perkara gaib. Dalam literatur kitab kuning, pembahasan perkara gaib ini istilahnya as-sam’īyāt dan biasanya menjadi pembahasan terakhir dari fan tauhid.

Oleh sebab itu, ketika hendak membahas tentang perkara gaib, pertama-tama yang harus kita ingat bahwa akal harus kita tanggalkan. Artinya, untuk memercayai hal gaib memang tidak bisa lewat jalur akal. Seperti yang telah disinggung di atas, pembahasan as-sam’īyāt merupakan bagian dari fan tauhid yang dalilnya itu murni informasi dari al-Qur’an (kalāmullāh) dan hadis (kalāmu rasūlullāh), sama sekali tidak melibatkan dalil aqli. Berbeda dengan dua pembahasan fan tauhid sebelumnya—ilāhiyāt dan nubuwāt—yang memang memakai dalil aqli dan naqli.

Sesuai dengan penamaannya, kenapa dinamakan as-sam’īyāt? Karena dalil-dalilnya adalah naqli. Dalam konteks ini, Habib Zain bin Sumait di dalam kitab at-Tafrīd fī taqrīri Durūsut-Tauhīd menguraikan:

 ولماذا سميت السمعيات؟ لأنها أمور غيبية مما يجب على الإنسان الإيمان بها ولم يرها  … لأن أدلتها سمعية نقلية لا عقلية فليس للعقل مدخل في أدلتها—التفريد في تقرير دروس التوحيد للحبيب زين بن إبراهيم بن سميط

Artinya: “Kenapa dinamakan as-sam’īyāt? Karena as-sam’īyāt terkategori perkara gaib yang wajib diimani oleh setiap insan. Dan perkara ini tidak bisa dilihat. Di samping itu, karena (informasinya) dari dalil-dalil  as-sam’īyāt (al-Quran dan hadis), bukan dalil aqli. Akal sama sekali tidak punya peran dalam penggalian dalil.”

Prof. Quraish Shihab pernah berujar bahwa dalam urusan iman, termasuk iman pada perkara gaib, tidak dapat memakai akal. Beliau dauh:

“Ada dua hal yang akal tidak dapat kerjakan tapi hati dapat lakukan, yaitu iman dan cinta. Akal tidak dapat berperan dalam hal itu, misalkan memang berperan pasti seorang ibu lebih memilih anak yatim yang gagah dan baik untuk dijadikan anak, daripada memilih anak kandungnya sendiri yang buruk. Di situlah hati berperan.”—Prof. Quraish Shihab, di YouTube Quraish Shihab.

Melihat beberapa uraian di atas, kita wajib mengimani perkara gaib walaupun terkadang akal meronta-ronta karena mencari sebuah jalan untuk dirasionalkan. Persoalan iman pada perkara gaib bukan lagi rasional apa tidak, melainkan bagaimana kita bisa mengelola hati dengan baik supaya iman kuat, tidak tergoyahkan oleh propaganda yang menggiring untuk tidak mengimani perkara gaib.

Apakah Nikmat dan Siksa Kubur Nyata?

Mari kita ambil satu kasus. Misal kasus nikmat dan siksa kubur. Kenapa penulis memilih kasus ini, sebab ada propaganda kelompok yang tidak iman pada nikmat dan siksa kubur. Kelompok Muktazilah contohnya. Mereka enggan memercayai adanya kasusu ini, ingkar. Walaupun dalam kasus lain, yang sama-sama perkara gaib mereka iman, yaitu kasus adanya surga dan neraka. Kelompok Muktazilah tidak mengingkari adanya surga dan neraka, tapi adanya nanti

saat hari kiamat. Sebelum hari kiamat, menurut kepercayaan mereka, Tuhan masih belum menciptakannya.

Jadi, kelompok Muktazilah mengingkari adanya nikmat dan siksa kubur, tapi meyakini adanya surga dan neraka walaupun adanya nanti pas hari kiamat.

Berbeda dengan keyakinan Ahlussunnah. Nikmat dan siksa kubur nyata, begitu juga surga dan neraka. Nyata adanya, sekrang. Salah satu dalil yang dijadikan pijakan oleh Ahlussunnah adalah hadis. Ketika Kanjeng Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat istisqā’ (shalat meminta hujan), beliau melihat surga, lalu maju seraya menghendaki memakan tandan. Setelah itu, beliau juga melihat neraka yang menghancurkan satu sama lainnya, lalu beliau mundur. Hadis ini yang dijadikan dalil bahwa surga dan neraka pada saat ini ada, bukan akan dijadikan Tuhan nanti ketika hari kiamat.

Jadi, jika kita telaah dari kasus di atas, akan jelas perbedaan dua pendapatan antara Ahlussunnah dan Muktazilah. Maksudnya, penulis tidak heran kenapa pendapat Muktazilah seperti yang telah dijelaskan. Sebab, sebagaimana kita ketahui bahwa kelompok yang digadang-gadang didirikan oleh Washil bin Atho’ ini dikenal sebagai kelompok yang mengedepankan akal dalam menggali sebuah hukum, termasuk dalam kasus ini. Mereka cenderung mengedepankan rasional apa tidak. Padahal, seperti yang telah kita bahas, untuk mengimani perkara gaib, contohnya kasus ini, akal memang tidak berperan. Dalam urusan iman, hati yang harus dikedepankan.

Sikap Rais Aam PBNU mengenai Perkara Gaib 

Untuk kasus kepercayaan kelompok Muktazilah dalam kasus di atas penulis anggap cukup. Sebab, kasus ini sebenarnya hanya sebagai contoh untuk penguat konsep bahwa iman terhadap perkara gaib murni pakai hati, tidak perlu pakai akal. Seperti pemaparan di muka. Kalau akal masih campur tangan, seperti konsep Muktazilah dalam kasus nikmat dan siksa kubur, maka akan banyak perkara gaib yang kita nafikan. Padahal secara tegas dijelaskan di dalam nash-nash hadis.

Mari kita bahas kasus lain. Kasus ini sebagai pegangan supaya iman tidak goyah. Masih dalam konteks perkara gaib, Rais Aam PBNU, K.H. Miftachul Akhyar, pernah menyampaikan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:

“Maka panggil saja ‘ibadallah, bersuaralah keras dengan menyebut ‘ibadallah, hai hamba Allah, ihbisu ‘alayya, tahan kendaraanku, tahanlah binatang peliharaanku yang lari, tahanlah unta atau kudaku yang lari,” dauh K.H. Miftachul Akhyar (kanal YouTube Multimedia K.H. Miftachul Akhyar)

Kata beliau, walaupun hadis ini termasuk hadis dhaif, tapi banyak dipakai para ulama-ulama terdahulu dan terbukti mujarab. Jadi, ketika kita kehilangan sesuatu, salah satu cara mengembalikannya yaitu dengan mempraktikkan hadis ini. Misalnya kendaraan, hewan, atau barang apa saja kita hilang di suatu daerah, panggil saja, “ya ‘ibadallah ihbisu ‘alayya” dengan suara yang lantang. Begitulah yang dijelaskan K.H. Miftachul Akhyar.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa yang dimaksud “ibadallah” itu siapa saja. Bisa malaikat, wali-wali Allah, atau bahkan jin-jin yang saleh yang suka membantu.

“Jadi, hadis tentang “ya ‘ibadallah ihbisu ‘alayya” walaupun dhaif, panggil-panggil orang yang tidak ada di hadapannya, atau makhluk yang tidak ada di hadapannya. Itu tidak salah, tidak syirik, karena Allah mempunyai makhluk yang ghaib, yang memang diperintah oleh Allah untuk melayani makhluk yang butuh-butuh seperti ini.

Di tempat-tempat yang asing, di tempat yang sepi, di tempat yang jauh Allah menyiapkan makhluk-makhluk, baik berupa manusia, para wali athaf, wali abdal, malaikat, atau bangsa jin semua ada di tempat itu. Jadi kalau kita sedang membutuhkan sesuatu panggil saja, yang kira-kira memang sedang sendirian atau tidak ada orang lain.” Begitulah sikap beliau dalam memahami hadis di atas.

Kesimpulan

Walhasil, untuk memahami dan menyikapi perkara gaib, kita harus menanggalkan ego akal. Namanya juga perkara gaib, sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh pancaindera, tentu akal tidak bisa menjakaunya, akal memiliki batas dalam memahami sesuatu. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ada hamba pilihan Allah yang bisa menjaukaunya. Hal tersebut tidak mustahil, seperti Allah memperlihatkan surga dan neraka kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam. Selain menanggalkan akal, iman pada perkara gaib memerlukan kejernihan jati.

Wallāhu a’alam bis-shawāb. Semoga bermanfaat.

Rujukan:

At-Tafrīd fī taqrīri Durūsut-Tauhīd, karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait

 -https://www.nu.or.id/nasional/makhluk-ghaib-bisa-bantu-saat-seseorang-didera-musibah-ini-penjelasan-kh-miftachul-akhyar-mEJLf

Penulis: Syifaul Qulub Amin

Comment here