
nubangkalan.or.id—Setiap kali Ramadan berakhir dan gema takbir menggetarkan udara, umat Islam di Indonesia menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan sebuah tradisi unik: halal bihalal.
Di balik senyum hangat dan jabat tangan erat, ada semangat memaafkan dan menyambung silaturahmi yang tumbuh kuat. Tapi tahukah Anda, bahwa istilah halal bihalal sebenarnya adalah buah kreativitas budaya Indonesia, dan tidak ditemukan di negara-negara Muslim lain?
Asal Usul Istilah “Halal Bihalal”
Meski terdengar seperti berasal dari bahasa Arab, halal bihalal adalah kreasi khas Nusantara. Kata ini berasal dari pengulangan kata “halal” yang disisipi kata “bi” (yang berarti “dengan”)—sehingga secara harfiah berarti “halal dengan halal”.
Namun, makna sesungguhnya jauh lebih dalam. Istilah ini pertama kali terdokumentasi dalam kamus Jawa-Belanda oleh Dr. Th. Pigeaud (1938) sebagai “alal behalal” dan “halal behalal”, yang berarti saling memberi salam dan memohon maaf di hari Lebaran.
Ada juga kisah menarik dari Solo tahun 1930-an, di mana pedagang martabak asal India mempromosikan dagangannya dengan kalimat “martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal.”
Frasa itu kemudian dikenal luas di masyarakat Solo sebagai sebutan untuk kegiatan bersilaturahmi usai Lebaran. Sejak itu, halal bihalal menyebar luas ke seluruh pelosok negeri, bahkan menjadi agenda resmi di berbagai institusi dan pemerintahan.
Makna Halal Bihalal
Di tengah perayaan Idulfitri, halal bihalal menjadi ruang bagi masyarakat untuk saling memaafkan, melebur kesalahan, dan merajut kembali tali persaudaraan yang sempat renggang.
Dalam konteks sosiologi, ini selaras dengan konsep solidaritas sosial yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim: masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang terhubung oleh nilai-nilai bersama dan rasa saling memiliki.
Secara makna, kata “halal” berasal dari bahasa Arab ḥalla yang memiliki tiga arti, melepaskan simpul yang kusut, mengendapkan air yang keruh, dan Membolehkan sesuatu yang semula terlarang.
Dengan demikian, halal bihalal bisa dimaknai sebagai proses membersihkan kekusutan hubungan, meredakan keruhnya hati, dan membolehkan kembali hubungan yang sempat renggang. Bukan sekadar ritual sosial, tapi wujud nyata dari cinta, pengampunan, dan persatuan.
Halal Bihalal dalam Pandangan Islam
Walau istilah halal bihalal tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau hadis secara harfiah, nilai dan prinsip yang terkandung di dalamnya sangat didukung oleh syariat Islam. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۖ وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur [24]: 22)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Tidak halal bagi seorang Muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hadis ini mempertegas bahwa menjaga hubungan—termasuk saling memaafkan—adalah bagian dari keimanan yang tidak bisa diabaikan.
Anjuran bersilaturahmi ini juga ditegaskankan oleh banyak ulama, seperti Imam Ghazali dalam kitab Ihyā’ Ulūmiddīn, “Hak seorang saudara Muslim adalah dimaafkan kesalahannya, ditutupi aibnya, dan dipelihara kehormatannya.”
Tiga hal yang disebutkan Imam Ghazali tersebut bisa terwujud apabila kita saling menjaga silaturahmi antarsesama Muslim. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab.
“Silaturahmi adalah wajib dalam kadar minimalnya, yaitu tidak memutus hubungan secara total. Adapun bentuk yang lebih sempurna, seperti saling berkunjung dan memberi hadiah, hukumnya sunah.”
Dari beragam landasan tersebut, bisa kita simpulkan bahwa halal bihalal bukan hanya budaya, melainkan menjadi sarana yang selaras dengan prinsip syariat Islam dalam membangun masyarakat yang damai, bersatu, dan penuh kasih sayang.
Halal bihalal adalah warisan kultural bangsa Indonesia yang dibingkai oleh nilai-nilai luhur Islam. Ia lahir dari sejarah, tumbuh bersama masyarakat, dan kini menjadi jembatan penting dalam menyatukan kembali hati-hati yang mungkin pernah berselisih.
Di tengah dunia yang makin individualistis, tradisi ini patut kita jaga dan lestarikan sebagai wujud nyata ajaran Islam tentang cinta, maaf, dan persaudaraan.
Penulis: Sa’dullah/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Comment here