Tokoh

Menjaga Warisan Ilmu, Bukan Sekadar Mengagumi Karomah

nubangkalan.or.id—Dalam tradisi kita, para ulama sering dikenang melalui kisah-kisah karomah yang luar biasa. Kisah-kisah itu memang menghangatkan hati, memberi keyakinan, dan menyentuh sisi spiritual kita yang paling dalam.

Namun, di tengah gemuruh kekaguman pada keistimewaan-keistimewaan luar biasa itu, kita kerap lupa bahwa warisan paling nyata dari para ulama adalah ilmu. Keilmuan yang teruji, diajarkan dari generasi ke generasi, ditulis dalam kitab, dan dihidupkan di pesantren.

Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, misalnya, lebih dikenal masyarakat lewat cerita tongkat, air doa, dan isyarah yang penuh karomah.

Tapi tak banyak yang menyebut bahwa beliau juga mewariskan puluhan kitab dan sistem keilmuan yang diajarkan kepada murid-muridnya. Kita memuliakan sosoknya, tapi justru mengabaikan peninggalan ilmunya.

Mengagumi karomah para ulama sejatinya bukan sesuatu yang keliru. Ia adalah bagian dari cinta, penghormatan, dan adab kita terhadap para pewaris nabi. Namun ketika kekaguman itu tidak diiringi dengan upaya mengenali, mempelajari, dan melanjutkan warisan ilmu mereka, maka kekaguman itu perlahan menjadi kosong.

Kitab-kitab yang mereka tulis tak lagi dibuka, pelajaran yang mereka ajarkan tak lagi ditelusuri, dan nama besar mereka hanya tinggal legenda. Padahal, dari ilmu merekalah peradaban Islam dibangun: dari bait-bait pesantren, dari halaqah-halaqah kecil, dan dari sanad keilmuan yang tersambung hingga Rasulullah.

Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil ilmu itu, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Berbeda dengan karomah yang sifatnya personal dan tidak bisa diwariskan, ilmu adalah harta yang dapat terus hidup sepanjang zaman. Ia tidak hanya menetap dalam kitab, tapi juga mengalir melalui lisan dan laku para murid.

Seorang ulama bisa saja dikenal karena karomahnya, tetapi yang menjadikan namanya lestari dalam sejarah adalah ilmu yang diajarkan, ditulis, dan diwariskan. Inilah yang mestinya menjadi perhatian utama kita hari ini.

Warisan ilmu para ulama bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi juga fondasi masa depan. Melupakannya sama dengan membiarkan akar peradaban tercerabut perlahan.

Sayangnya, dalam banyak kasus, perhatian masyarakat lebih tertuju pada cerita-cerita karomah dibanding jejak keilmuan yang lebih nyata. Di Madura, misalnya, nama Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan hampir selalu hadir dalam kisah-kisah menakjubkan: tongkat yang menjadi isyarah, air doa yang menyembuhkan, atau firasat-firasat yang terbukti.

Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa beliau meninggalkan puluhan kitab, mengajar dengan metode yang terstruktur, dan memiliki sanad keilmuan yang tersambung hingga para ulama besar.

Ketika warisan seperti ini tidak dicatat, tidak diajarkan, dan tidak dibicarakan, maka kita sedang membiarkan cahaya ilmu itu meredup, perlahan tapi pasti.

Upaya pelestarian warisan ilmu para ulama sejatinya bukan hanya tanggung jawab pesantren, tetapi juga masyarakat, akademisi, bahkan negara. Dokumentasi manuskrip, penerbitan ulang kitab kuning, pengarsipan sistem pengajaran, dan penulisan biografi ilmiah harus menjadi gerakan bersama.

Banyak karya Syaikhona Kholil yang tersimpan dalam manuskrip yang belum disalin ulang atau diteliti lebih dalam. Padahal dari karya-karya itu kita bisa membaca arah pemikiran, metodologi, hingga kedalaman tasawuf dan fiqih yang beliau wariskan. 

Nabi ﷺ juga bersabda, “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim).

Maka setiap upaya untuk menghidupkan kembali ilmu para ulama adalah bagian dari amal jariyah yang agung.

Sudah saatnya kita menyeimbangkan cara kita mengenang para ulama. Mengagumi karomah mereka adalah bentuk cinta, tapi menjaga warisan ilmunya adalah bentuk tanggung jawab. Kisah ajaib boleh terus hidup sebagai pengingat keistimewaan, tapi jangan sampai menutupi cahaya keilmuan yang jauh lebih dibutuhkan untuk membimbing umat.

Jika generasi hari ini hanya mewarisi cerita tanpa memahami ajaran, maka kita sedang mewarisi kulit dan melupakan isi. Syaikhona Kholil, dan para ulama sepertinya, bukan hanya untuk dikagumi, tetapi untuk digali, dipelajari, dan dilanjutkan.

Penulis: Sa’dullah/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan

Comment here