
nubangkalan.or.id—Segala puji bagi Allah ﷻ, Tuhan semesta alam. Dialah yang membuka pintu hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, tanpa memandang nasab, status, atau agama sebelumnya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan bagi seluruh umat manusia.
Hari-hari dalam Islam tidaklah sama. Ada hari-hari yang dimuliakan, penuh berkah dan pahala, yang jika dimanfaatkan dengan amal kebaikan, akan menjadi sebab turunnya rahmat dan hidayah Allah ﷻ. Salah satu di antaranya adalah hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharram, yang memiliki banyak keutamaan dalam sejarah Islam.
Dalam kesempatan ini, kita akan memetik hikmah dari sebuah kisah yang sangat menyentuh—kisah nyata tentang seorang Yahudi yang mendapat hidayah, masuk Islam hanya karena memuliakan hari Asyura, meskipun ia belum mengenalnya secara mendalam. Kisah ini bukan sekadar dongeng, melainkan ibrah (pelajaran) yang menunjukkan bagaimana Allah ﷻ membalas kebaikan dengan cara yang luar biasa, dan bagaimana satu tindakan kecil bisa membuka pintu surga dan iman.
Hidayah pada Hari Asyura, Kisah Yahudi yang Masuk Islam
Dijelaskan dalam kitab I’anah At-Thalibin, juz 2, halaman 302—303, hiduplah seorang fakir miskin yang memiliki istri dan anak-anak. Ketika tiba hari Asyura, tanggal 10 Muharram yang penuh keutamaan, ia dan keluarganya berpuasa dengan harapan memperoleh pahala dari Allah ﷻ. Namun, mereka tidak memiliki sedikit pun makanan untuk berbuka.
Menahan lapar seharian, si fakir keluar rumah berharap mendapatkan bantuan untuk membeli makanan sekadar sesuap bagi keluarganya. Ia menuju pasar, tepatnya ke toko seorang pedagang Muslim kaya yang dikenal menjual emas dan perak. Di toko itu, tumpukan kekayaan terbentang, emas dan perak bersinar terang.
Dengan penuh harap dan kerendahan hati, si fakir menyapa pedagang itu dan berkata,
“Wahai tuanku, aku seorang fakir. Pinjamkan aku satu dirham saja agar aku bisa membeli makanan untuk keluargaku. Aku akan mendoakanmu di hari yang penuh berkah ini, hari Asyura.”
Namun, permintaan tulus itu ditolak. Sang pedagang berpaling wajah, tak menjawab sepatah kata pun. Fakir itu pun pergi dengan hati hancur, air mata mengalir di pipinya.
Dalam perjalanan pulang, ia dilihat oleh seorang penukar uang Yahudi, yang tak lain adalah tetangga dari pedagang Muslim tadi. Yahudi itu turun dari tokonya, menghampiri si fakir, dan bertanya:
“Apa yang terjadi? Aku melihatmu bicara dengan tetanggaku tadi.”
Si fakir menjawab, “Aku hanya meminta satu dirham saja untuk membeli makanan berbuka, tapi dia menolakku. Aku katakan bahwa aku akan mendoakannya karena ini hari Asyura.”
Si Yahudi penasaran, lalu bertanya: “Hari apa itu? Apa keutamaannya?”
Si fakir pun menjelaskan keutamaan dan kemuliaan hari Asyura, hari di mana Nabi Musa As diselamatkan dari Firaun, hari yang dianggap mulia dalam Islam, dan hari yang dianjurkan untuk berpuasa.
Mendengar itu, hati si Yahudi tersentuh. Ia pun memberi sepuluh dirham kepada si fakir dan berkata:
“Ambillah, dan belanjakan untuk keluargamu, sebagai penghormatanku terhadap hari yang mulia ini.”
Malamnya, Allah Menunjukkan Hikmah. Malam itu, sang pedagang Muslim yang sebelumnya menolak si fakir bermimpi aneh dan mencekam. Ia melihat seakan-akan hari kiamat telah tiba, dirinya sangat kehausan dan ketakutan. Di depannya tampak sebuah istana megah, terbuat dari mutiara putih, dengan pintu dari yaqut merah.
Ia pun berkata kepada para penghuni istana, “Wahai penghuni istana, beri aku seteguk air!”
Namun, terdengar suara menjawab, “Istana ini dulunya untukmu. Tapi karena engkau menolak fakir miskin yang datang dengan hati hancur kemarin, maka namamu telah dihapus dari tempat ini. Istana ini kini ditulis atas nama tetanggamu yang Yahudi, karena ia yang memberi dan memuliakan hari Asyura.”
Penyesalan dan Hidayah
Sang pedagang bangun dengan ketakutan dan penyesalan. Pagi-pagi ia bergegas mendatangi tetangganya yang Yahudi itu dan berkata, “Juallah pahala sedekahmu kemarin, aku bayar 100 dirham!”
Yahudi itu menjawab, “Demi Allah, tidak! Bahkan jika engkau bayar 100 ribu dinar pun aku tidak akan menjualnya. Bahkan jika kau ingin masuk ke istana yang kau lihat dalam mimpimu semalam, aku tidak akan izinkan!”
Pedagang itu terkejut dan bertanya, “Siapa yang memberitahumu tentang mimpiku dan istana itu?”
Ia menjawab, “Dzat yang berkata kepada sesuatu: ‘Jadilah!’ maka jadilah’.”
Lalu, dengan penuh keyakinan, si Yahudi bersyahadat di hadapan pedagang Muslim itu, dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Ala kulli hal, kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, tidak akan pernah sia-sia di sisi Allah ﷻ. Bahkan, satu dirham yang tidak diberikan, bisa membuat seseorang terhalang dari surga, sementara sepuluh dirham yang diberikan dengan niat ikhlas bisa menjadi sebab turunnya hidayah dan anugerah iman.
Oleh sebab itu, jadikanlah hari-hari mulia seperti Asyura sebagai peluang emas yang Allah ﷻ buka bagi hamba-hamba-Nya. Jika seorang non-Muslim saja bisa mendapatkan keutamaan dan petunjuk karena menghormati hari ini, maka bagaimana dengan kita yang telah mengenal Allah ﷻ dan Rasul-Nya?
Penulis: Ibrahim/Santri Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Tepa’nah Barat, Durjan, Kokop, Bangkalan & Pegiat Bahtsul Masail MWC NU Tambelangan
Editor: Syifaul Qulub Amin/Pengurus LTN PCNU Bangkalan
Comment here