Para sahabat selalu antusias menerima al-Qur’an dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, baik menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Sahabat Anas radhiyallāhu ‘anhu berkata:
“Seseorang di antara kami bila telah membaca surah al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami.”
Begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan al-Qur’an dan memahami hukum-hukumnya. Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, beliau mengatakan:
“Mereka yang membacakan al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari al-Qur’an berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.”
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Al-Qur’an, karena beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun setelah itu mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar radhiyallāhu ‘anhuma.
Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallāhu ‘anhu dan keadaan menghendaki (seperti yang akan kami jelaskan nanti) untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana.
Mushaf itu disebut “Mushaf Imam”. Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani, yaitu dinisbatkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil-quran.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku, serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Al-Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan i’rabil quran.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai dengan kemampuannya yang berbeda-beda dalam memahami, dan karena adanya perbedaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Di antara para mufassir (ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka’ab. Dan, apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Al-Qur’an yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global.
Mengenai para tabi’in (generasi kedua setelah generasi para sahabat), di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat, di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah.
Sementara, di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Di antara murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, maula Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abusy-Sya’sa, Said bin Jubair, dan lain-lainnya.
Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas’ud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi, semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan (tadwin) yang yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka, sebagian ulama membukukan tafsir Quran yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, dari para sahabat atau dari para tabi’in.
Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112).
Mereka semua adalah para ahli hadis; tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun, tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian, langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama.
Mereka menyusun tafsir al-Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H).
Rujukan: Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, dan Manna’ Khaliil al-Qattaan.
Penulis: Ainun Najib, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Cholil Semester VII
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here