
nubangkalan.co.id — Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa, di mana dan dalam keadaan bagaimana, apa yang kita alami sudah ditakdirkan lebih dulu jauh sebelum lahir. Setiap orang kadang ingin kematiannya tidak jauh dari keluarga tercintanya, bahkan walau meninggal jauh dari kampung halaman sekalipun masih ingin untuk dikuburkan di kampung halamannya dengan harapan mudah diziarahi oleh keluarga dekatnya.
Hal yang lumrah terjadi khususnya bagi seseorang yang bekerja sampai merantau ke daerah yang jauh dari kampung halamannya adalah saat sudah meninggal dunia jenazahnya dipulangkan ke kampung halaman. Terdapat berbagai kasus, mulai dari dipulangkan dalam keadaan belum di-tajhiz sama sekali dan ada pula yang dipulangkan dalam keadaan sudah dimandikan dan dishalati di tempat rantau ia meninggal, dengan tujuan ingin dikuburkan di kampung halamannya.
Lalu bagaimana hukumnya memulangkan jenazah dari tempat rantau yang jauh dari kampung halaman?
Menguburkan jenzah merupakan bagian dari fardu kifayah bagi semua umat Islam yang ada di sekitar lokasi jenazah tersebut, sehingga dalam peroses tajhiz harus ada dari sebagian umat Islam di lokasi tersebut yang melakukannya, mulai dari memandikan hingga menguburkannya.
Dalam masalah menguburkan jenazah, menurut qaul ashah dalam madzhab Syafii hukumnya haram untuk dipindahkan dari daerah ia meninggal dunia. Hukum haram ini berlaku baik sebelum dimandikan, dikafani, dan dishalati atau sesuadah dilakukan tiga hal tersebut.
Dalil dari keharaman ini adalah perintah dalam syariat Islam untuk tidak menunda menguburkan jenazah, sedangkan apabila dipindah dari daerah ia meninggal akan memperlambat proses penguburannya, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam Syarhu al-Muhadzab:
وَقَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالدَّارِمِيُّ وَالْمُتَوَلِّي يَحْرُمُ نَقْلُهُ قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْمُتَوَلِّي وَلَوْ أَوْصَى بِنَقْلِهِ لَمْ تُنَفَّذْ وَصِيَّتُهُ وَهَذَا هُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ الشَّرْعَ أَمَرَ بِتَعْجِيلِ دَفْنِهِ وَفِي نَقْلِهِ تَأْخِيرُهُ وَفِيهِ أَيْضًا انتها كه مِنْ وُجُوهٍ وَتَعَرُّضُهُ لِلتَّغَيُّرِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Artinya: “Imam al-Qadhi Husain, Imam ad-Darimi, dan Imam al-Mutawalli menyatakan bahwa haram memindahkan jenazah keluar daerah ia meninggal, bahkan Imam al-Qadhi Husain dan Imam al-Mutawalli menyatakan apabila orang yang sudah meninggal itu pernah berwasiat untuk memindah penguburunnya, maka wasiat tersebut tidak wajib untuk dilaksanakan.”
“Dan pendapat ini adalah pendat yang paling shahih, karena perintah syariat adalah menyegerakan penguburan jenazah dan dalam hal memindahkan penguburannya ke daerah lain akan mengakibatkan lambatnya peroses penguburan. Selain memperlambat proses penguburan, pemindahan itu juga bisa mengakibatkan melanggar kehormatan mayit dan bisa menyebabkan berubahnya jasad dan semacamnya.” (Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu al-Muhadzab, juz 5, halaman 303)
Berbeda dengan pendapat di atas, Imam al-Qadhi Abu Muhammad al-Husain bin Masud Al Baghawi dalam kitab at-Tahdzib fī al-Fiqhi as-Syāfi’ī menyatakan bahwa hukum memindahkan penguburan jenazah ke daerah lain adalah makruh.
Namun demikian, Syaikh Mahfudz Tarmasi dalam kitab Hāsyiah at-Tarmasī memberikan catatan terhadap hukum makruh yang diungkapkan oleh mam al-Qadhi Abu Muhammad al-Husain bin Masud al-Baghawi bahwa hal itu berlaku apabila jenazahnya sudah dimandikan, dikafani, dan disahalati di daerah ia meninggal, sehingga apabila dipindahkan dalam keadan belum dimandikan sama sekali hukumnya tetap haram, karena fardu kifayah yang berlaku terhadap umat Islam yang ada di daerah tersebut tidak gugur selama peroses pemindahan jenazah ke daerah lain.
Dalam realita yang terjadi di sebagian masyarakat adalah ditemukannya kasus-kasus pemulangan jenazah dalam keadaan belum dimandikan sama sekali, sehingga melihat dari uraian di atas hukumnya tetap haram.
Maka, solusinya adalah taqlid terhadap pendapatnya ulama madzhab Maliki, yang memperbolehkan memindahkan penguburan jenazah—baik sebelum atau sesudah dikuburkan di tempat meninggalnya—serta di samping itu pendapat dari ulama madzhab Maliki lebih longgar dalam perihal memandikan sampai menshalati jenazah.
Terdapat beberapa pendapat dalam madzhab Maliki yang menyatakan bahwa hukum memandikan hingga menshalati jenazah adalah sunah, sebagaimana disebutkan dalam kitab at-Taju wa al-Iklīl li Muktashari al-Khalīl;
أَمَّا الْخِلَافُ فِي غُسْلِ الْمَيِّتِ فَقَالَ ابْنُ عَرَفَةَ: غُسْلُ الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ غَيْرِ الشَّهِيدِ. قَالَ الشَّيْخُ مَعَ الْأَكْثَرِ: سُنَّةٌ. قَالَ الْقَاضِي مَعَ الْبَغْدَادِيِّينَ: فَرْضُ كِفَايَةٍ — إلى أن قال — وَأَمَّا الْخِلَافُ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَقَالَ عِيَاضٌ: الصَّلَاةُ عَلَى الْجَنَائِزِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ، وَقِيلَ سُنَّةٌ. — إلى أن قال — وَأَمَّا وُجُوبُ دَفْنِهِ وَكَفَنِهِ فَقَالَ ابْنُ يُونُسَ: غُسْلُ الْمَيِّتِ وَتَكْفِينُهُ وَتَحْنِيطُهُ سُنَّةٌ،
Artinya: “Ada Khilaf (perbedaan pendapat) dalam persoalan memandikan jenazah, Imam Ibnu Arafah mengatakan bahwa memandikan jenazah yang meninggal bukan dalam keadaan syahid, menurut As Syaikh (Imam Ibnu Abi Zaid, dan kebanyakan ulama menyatakan hukumnya sunah, sedangkan menurut al-Qadhi (Imam Al Qadhi Abdul Wahab bin Ali bin Nashar al-Baghdadi) serta ulama kalangan Baghdad hukumnya fardu kifayah.
“Dan adapun khilaf dalam masalah menshalati jenazah hukumnya fardu kifayah menurut Imam Iyadh, sedangkan sebagian pendapat menyatakan hukumnya sunnah, serta kewajiban menguburkan dan mengkafani jenazah menurut Imam Ibnu Yunus hukumnya adalah sunnah.” (Imam Muhammad bin Yusuf bin Abi al-Qasim al Maliki, at-Taju wa al-Iklīl li Muktashari al-Khalīl, juz 3, halaman 3)
Oleh karena itu, apabila terdapat orang yang meninggal di tempat rantauannya dan terpaksa ingin dipulangkan ke kampung halamannya, sebaiknya taqlid atau ikut terhadap pendapat-pendapat ulama kalangan madzhab Maliki, dengan demikian bisa terhindar dari hukum yang sangat ketat sebagaimana yang berlaku dalam fikih kalangan madzhab Syafii. Sekian, Wallāhu ‘Alam!
Penulis: M. Syafik/Brungbung, Gunung Sereng, Santri aktif PP. Nurul Cholil
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan
Comment here