Kajian

Fenomena Runtuhnya Andhep Ashor di Masyarakat Kita

*Penulis : Ahrori Dhofir
Orang Madura mempunyai adagium begini: “Lah papenteren, sampek bisa ngoker langgek, mun tak andik andep ashor tade’ ghunanah” (sepandai apapun seseorang jika tidak punya etika niscaya tak akan berguna). Ucapan orang-orang terdahulu walau terkadag dipandang tidak punya referensi klasik atau berasal dari nash sharih pada dasarnya tidak bertentangan dengan kaidah syariat yang berlandasan al-Quran dan al-Hadits. Rasulullah sendiri diutus, salah-satunya adalah memperbaiki moral umat. Mengedepankan titik urgen yang berupa adab (tatakrama).

Seorang pakar Hadits, al-Imam Ahmad Bin Hanbal suatu ketika pamit kepada ibunya untuk menuntut ilmu, lalu ibunya menyarankan agar terlebih dahulu medatangi Rabi’ untu belajar etika. Konon, sewaktu Imam Malik menjadi Ulama besar, diantara lima ribu jamaah yang hadir, hanya sekitar lima ratus orang yang mencatat pelajaran darinya. Selebihnya dari lima ratus itu lebih pada hanya menimba etika dan mengambil contoh dari keluhuran adab dari seorang imam Ahmad yang ahli Hadits. Mukhlad bin al-Husain pernah berkata kepada Ibn al-Mubarok: “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai Hadits”. Ibn Mubarok sendiri juga pernah menyampaikan hal yang agak mirip: “ Kami mempelajari tentang adab selama tiga puluh tahun, sedangkan mempelajari ilmu selama duapuluh tahun”.

Beberapa kisah di atas menegaskan bahwa di zaman digital kita saat ini, urusan etika sudah mulai mengurang atau bahkan; runtuh. Hal ini bisa saja disebabkan ketidakpedulian kita sendiri terhadap generasi di bawah kita. Akhir-akhir ini sering kita dengar bahkan kita melihat sendiri dengan mata telanjang, anak-anak muda dengan entengnya tidak lagi menghormati yang lebih tua. Bahasa halus pun jarang kita dengar dari para remaja. Entah ini apa karena pengaruh zaman atau karena ada faktor lain. Namun yang jelas ketika kita telisik di pedesan saat ini, bahwa anak seumur SD sudah jarang mengucapakan “Glenun” atau “pangaporah” ketika hendak lewat di depan rumah seseorang. Ditambah lagi yang memakai sepeda motor, dengan tidak menggubris siapa sebenarnya yang ada atau duduk di pinggir jalan. Fenomena yang saya sebut ini adalah fakta yang tak terelakkan.

Saya sangat ingat sekali sewaktu masih kecil dulu, banyak sekali anak-anak yang sama orang tuanya diajari untuk mengucapkan “Glenun” ketika hendak ziarah kubur dan ketepatan ada orang yang duduk di pinggir jalan. Andhep ashor, atau membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua selalu ditanamkan dalam jiwa. Hal ini sangat kontras sekali dengan pemandangan ‘hari ini’, yakni, dimana semua itu sudah mulai runtuh.

Dari sinilah, kita jangan hanya fokus menjadikan seorang menjadi orang cerdas, tapi tidak punya etika yang baik. Bukan hanya mencetak anak pintar, tapi juga harus menjadikan anak-anak kita sebagai orang yang benar. Hal ini harus dimulai dari diri kita saat ini. Saya ingat apa yang disampaiakn oleh Imam Hasan al-Bashri “Ingatlah,! Bahwa engkau adalah putaran waktu. Ketika satu hari saja berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu”. Ungkapan itu sangat bermakna. Artinya, memang kita tidak boleh menunda-nunda waktu untuk terus berusaha dalam memberi arahan kepada generasi generasi di bawah kita.

Jika kemudian usia di atas kita sudah sulit untuk berubah, paling tidak harus dipangkas mata rantai yang kurang baik adanya, agar tumbuh benih-benih generasi ummat yang agamis, cerdas, dan berbudi luhur. Sebab itulah, tugas berat pondok pesantren, madrasah diniyah, lembaga pendidikan formal dan semua institusi pendidikan, sudah saatnya tidak hanya memikirkan intelektual belaka, akan tetapi bagaimana sekiranya ada seorang anak didik terus menjadi perhatian yang sangat serius. Etika anak-anak kita betul-betul memprihatinkan.

Pembaca sekalian yang diramhati oleh Allah, kiranya sudah saatnya semua elemen terkait untuk tidak hanya membersihkan otak dari virus kebodohan. Akan tetapi bagaimana jiwa ini tidak kering dari sikap andhep ashor. Memang sangat tidak adil masalah sekomplek ini hanya dibebankan terhadap institusi pondok pesantren atau lembaga-lembaga lainnya yang aktif mendidik para anak bangsa. Namun, semua elemen masyarakat harus bergerak serta memulai, mempunyai andil besar guna menjadikan generasi bangsa ini mempunyai wawasan ilmu yang luas, etika yang luhur, dan memegang teguh ajaran agama.

*Wakil Sekretaris PCNU Bangkalan

Comment here