Aswaja NU

Pancasila Yes, Khilafah No!

sumber foto : Google

Oleh : Ahrori Dhofir*

Setelah kita melewati sejarah panjang akan sebuah pembentukan Negara Indonesia melalui beberapa tokoh atau yang dikenal dengan tim Sembilan, maka akan didapati sebuah kesimpulan bahwa Pancasila sebagai asas Negara cukup mewakili dari berbagai kelompok beragama. Seandainya pada saat itu menginginkan akan berdirinya Negara Islam maka secara otomatis selesai dan akan jadi, toh diantara tim Sembilan hanya satu yang bukan dari kalangan Islam. (Hasibullah Satrawi, saat menjadi pembicara pada ToT Anti Radikal dan Terorisme kepada Pesantren 9/9/2014 M. di Pondok Pesantren al-Yasini, Areng-Areng, Kraton Pasuruan. Jam 08.00-10.00 wib.)

***

Tulisan ini sebagai langkah penegasan atas identitas NKRI yang oleh sebagian kecil kelompok mulai dirongrong. Sama sekali tulisan ini tidak mengklaim status Negara yang sudah final dengan asas Pancasila. Oleh karenyanya, untuk memberi pandangan untuk kemudian didiskusikan mengenai status Negara Indonesia para pakar fikih hampir sepakat jika syiar agama mendominasi maka Negara tersebut dapat dikatakan Negara Islam. As-Sarkhasi, ulama Hanafiyah memaparkan, “Sesungguhnya sebuah tempat diafiliasikan kepada kita (ummat Islam), atau kepada mereka (kaum kafir) berdasarkan kekuatan dan kekuasaan. Semua tempat yang berserak kesyirikan didalamnya, dan kekuasaan ditangan kaum musyrikin, maka itu dinamakan Negara kafir. Dan, semua tempat tersebar didalamnya syiar-syiar Islam, dan kekuatannya dipegang kaum muslimin,maka itu dinamakan Negara Islam”. (SyarhusSa’ir juz 3 hlm. 81.

 Sejalan dengan as-Sarkhasi, yaitu Ibn Muflih dari kalangan Hanbali menyatakan “Setiap negara yang tampak dominan adalah Syiar Islam, maka disebut negara Islam, sedangkan bila syiar kafir yang tampak dominan maka disebut Negara kafir”.( AlAdabasSyariyah, juz 1 Hlm. 212.) Bahkan selain itu, KH. Asad secara tegas berkata bahwa bagi umat Islam wajib menerima pancasila sebagai asas Negara, karena hal itu sesuai tauhid yaitu Qul Huwallahu Ahad. Setali tiga uang dengan Kiai As’ad, yaitu Kiai Ahmad Siddiq dalam pandangannya tentang Pancasila. Menurutnya, Pancasila merupakan sebuah ideologi bukan Agama. Dan bahwa Pancasila dan Islam adalah sesuatu yang berbeda, yang satu berasal dari wahyu, sementara yang lain berasal dari pemikiran manusia. ( Ahmad Mufid AR, Ada dengan Gus Dur? hlm 82, kutub 2005)

Oleh karena itu, melihat perspektif para pakar fikih baik yang berasal dari kalangan Hanafi atau Syafii dalam menghukumi status negara, maka tidak mengherankan jika dalam perkembangannya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai oraganisasi Islam terbesar di Indonesia dalam mengambil keputusan mengenai status negara Indonesia lebih berdasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada kajian fiqh. Dengan demikian dasar prinsip Negara sesuai denga rumusan para ulama yang tergabung dalam orgaisasi NU adalah sebagai berikut:

Pertama, Muktamar XI NU di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia-Belanda sebagai daral-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia bersetatus sebagai dar al-Islam. Walaupun demikian status Hindia-Belanda berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Islam, kondisi ini tidak merubah yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka Nusantara tetap sebagai dar al-Islam.

Kedua, setelah Indonesia mempertahankan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemenpolitik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”. Resolusi jihad ini dikumandangkan pada tangal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi jihad melawan penjajah hukumnya adalah fardhu ain. Hal tersebut menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasan temporer yang secara de facto (memegang kekuasaan) diprakarsai oleh Menteri Agama (1953-1954) yaitu K.H Masjkur yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri oleh ulama yang berafeliasi dengan NU dan Perti. Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliyah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan  legitimasi Islam bagi wali hakim di Pengadilan Agama nantinya. Di sisi lain, pemberian gelar Presiden kepada Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-Islam Indonesia.Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.

Keempat, Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 ini memiliki nilai strategis karena beberapa hal. Pertama, pada Muktamar ini NU mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian NU yaitu sebagai Jam’iyyah diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah sosial-keagamaan. Kedua, pada Muktamar kali ini mulai dilakukan regenerasi dalam kepengurusan NU. Ketiga, dalam Muktamar ini dikukuhkan hasil keputusan Munas Alim Ulama Situbondo1983 tentang hubungan NU dan Pancasila.

Keputusan yang paling penting adalah mengenai hubungan NU dan Pancasila. Berdasarkan pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama NU, NU mengambil sikap secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan kepada pertimbangan agama: pertama, bahwa Pancasila dapat diterima sebagai asas organisasi sepanjang tidak mengubah fungsi Pancasila menjadi agama. Kedua, prinsip-prinsip ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam Islam. K.H. Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah sebagai kalimatin sawain bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, menurut NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara Islam dan Pancasila sebagai bentuk final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila dengan negara Islam.

Kelima, Pidato Khutbah Iftitah Rais Am Syuriyah PBNU K.H. Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU tahun 1987 di Cilacap. Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap persaudaraan yang dikembangkan di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (Ukhuwah Wathoniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (Ukhuwah Basyariyah). Pandangan ini menunujukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut NU sangat luas, tanpa memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.

Keenam, salah satu keputusan penting dalam Muktamar NU di Makassar Maret 2012 lalu, adalah forum bahsul masail yang selama ini membahas masalah kasus-kasus keagamaan tertentu (bahsul masail diniyyah waqiiyyah),  akan menambah forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan terhadap perundang-undangan di Indonesia (Bahsul Masail Diniyyah Qanuniyyah). (Majalah Tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012)

Dengan beberapa pertimbangan dan pemikiran yang sangat logis dari para ulama dan pakar lainnya, sudah barang tentu bahwa Indonesia dengan sendirinya menjadi Negara Islam tanpa diformalkan sebagaiana tuntutan sekelompok organisasi seperti NII, HTI, ISIS dll. Artinya memperdebatkan status Negara Indonesia dengan cara-cara ilmiah boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai menjadikan Negara Indonesia sebagai ladang dimana eksestensinya tidak diakui dan bahkan menyatakan Indonesia dengan Pancasilanya adalah laknat dan tidak beradab. Maka sandarac-saudara kita yang menyatakan demokrasi laknat dengan mengusung ide Khilafah adalah kesiangan dan hanya neglamun. Maka dengan tegas saya katakan bahwa Pancasila Yes, dan konsep Khilafah No!

*Wakil sekretaris PCNU Bangkalan, Sekretaris Aswaja Centre Bangkalan, Koordinator LTN (Lajnah Ta’lif wan Nasyr PCNU Bangkalan) wakil Pemimpin Umum Buletin Mingguan al-Ummah

Comment here