nubangkalan.or.id – Hidup bahagia dalam berumah tangga menjadi impian semua orang. Menjadi pasangan serasi sampai mati adalah harapan setiap suami istri. Tentu tidak mudah dan harus merintangi berbagai ujian untuk kemudian dapat mewujudkan keinginan hidup bahagia dengan orang yang paling dicintai. Namun, kadangkala hal itu sulit terwujud lantaran tak mampu menahan pahitnya perjalanan rumah tangga yang dirajut, pada akhirnya ketidakmampuan pun harus menjadi keputusan hingga berujung pada perceraian.
Dalam ajaran Islam, hukum cerai adalah perbuatan halal (boleh), tapi sangat dibenci Allah ﷻ. Sebagai agama yang berprinsip pada intelektual, Islam juga memberikan berbagai alternatif dalam mengatasi rumah tangga yang tidak sepemikiran, mana yang seharusnya dipertahankan, dan seperti apa yang patut dilepaskan.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat 232:
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْاۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ
Artinya: “Apabila kamu menceraikan istrimu, hingga (hampir) berakhir masa iddahnya, tahanlah (rujuk) mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudharatan sehingga kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah [2]: 232)
Ayat di atas adalah salah satu referensi yang membuktikan kebolehan cerai dalam pernikahan. Namun, pengertian boleh di sini tidak hanya fokus pada satu hukum, misal mubah ataupun sunah, melainkan dalam waktu/keadaan yang berbeda juga dapat menelurkan sebuah hukum yang berbeda. Berikut adalah aneka ragam atau klasifikasi hukum cerai yang tertuang dalam berbagai kitab karangan ulama.
- Wajib
Ungkapan hakim yang menarik jika terdengar di telinga orang-orang yang sudah tidak kuat menghadapi istrinya. Kewajiban mencerai istri tentu dengan alasan yang tidak remeh. Imam Nawawi menjelaskan bahwa cerai yang wajib adalah seperti yang terjadi pada orang-orang yang melakukan sumpah ila’ (bersumpah tidak akan menyetubuhi istri selamanya atau lebih dari empat bulan) dan sudah tidak mau menyetubuhinya, serta keputusan cerai dari hakim terhadap suami istri ketika terdapat percekcokan antara keduanya.
2. Haram
Meski pada dasarnya cerai adalah perbuatan yang boleh. Namun, juga bisa terjerat hukum haram jika salah dalam menempatkan dan menggunakannya. Mencerai istri bisa berstatus haram ketika perceraian dilakukan pada saat istri sedang mengalami haid tanpa adanya imbalan dari istri (akad khulu’), juga putusan cerai orang yang sakit dengan tujuan agar istrinya tidak menjadi ahli waris pada saat suami meninggal.
3. Sunah
Mungkin sudah banyak diketahui keterangan ulama tentang seorang suami yang harus amat sabar menyikapi perilaku buruk istrinya. Biarpun begitu, ada waktunya seorang suami justru disunahkan menceraikan istrinya, yaitu ketika suami mendapati istri yang berbudi pekerti sangat jelek atau tidak menjaga kehormatannya, sedangkan suami tidak mampu bersabar dengan sikapnya. Termasuk sunah menceraikan istri adalah tatkala suami tidak bisa memenuhi kewajibannya terhadap istri.
4. Makruh
Hukum inilah yang mengacu pada sabda nabi bahwa cerai adalah perbuatan halal, tapi sangat dibenci oleh Allah ﷻ. Hukum makruh terjadi ketika cerai dijatuhkan pada perempuan yang mempunyai tingkah laku yang baik. Sebab, dengan perceraian dapat menyakiti hati seorang perempuan dan akan memutus berlanjutnya keturunan, di mana hal inilah yang menjadi maksud mulia dari adanya pernikahan.
- Mubah
Setelah empat hukum di atas, yang terakhir adalah mubah. Yaitu mencerai istri ketika suami sudah tidak mempunyai gairah (syahwat) penuh terhadap istrinya, dan suami pun tidak merelakan untuk tetap menafkahi istri meski tidak di etubuhi. Dalam kasus ini suami diperbolehkan (mubah) menceraikan istri dan menikahi perempuan lain yang dicintai.
Itulah tadi variasi hukum cerai yang terpapar di beberapa kitab syafi’iyah tepatnya di kitab Fath al-Mu’in karya Syaikh Zainuddin al-Malibary dan kitab Nihayah al-Zain karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi.
Penulis: Amir Ibrahim, Pengajar Di Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here