Kajian

Tradisi Rokat dan Membawa Daun Beringin di Madura

Foto : Istimewa

Oleh : Muniri Faqod, S.HI, M.HI*

Di kampung Saya ada pohon Beringin kembar, kurang lebih 50 meter jaraknya dari rumah Saya. Di bawah pohon Beringin ini, ada gardu tempat nongkrong, dan tempat bermain anak-anak kecil. Di samping pohon tersebut ada makam Buju’ Beringin, sebuah makam sepasang suami istri berasal dari Pamekasan yang dikeramatkan.

Di bawah pohon Beringin ini pula, dulu sering diadakan “rokat” (slametan), berkatnya di gantung di dahan-dahan pohon ini, setelah dido’akan, selanjutnya orang-orang yang hadir rebutan berkat. Sekarang tradisi rokat ini sudah tidak dilakukan di sana, kurang lebih selama 30 tahunan (sekitar saya umur 6-tahunan) acara rokat diganti model dan tempat, yaitu istighosah di Masjid.

Sangat lama sekali tidak pernah diadakan rokat di bawah pohon Beringin, ujug-ujug tahun 2015 diadakan lagi, karena ada seseorang yang bermimpi didatangi al-marhum “Mbah Marlin” (saudara nenek Saya). Saat itu, lama sekali hujan tidak turun, padahal masyarakat sudah nirter (menanam padi), efeknya tanaman padi banyak yang hampir mati, karena itulah masyarakat sangat berharap hujan segera turun, agar para petani setempat bisa hasil pertaniannya, apalagi sebelumnya kemarau cukup lama, tentu persediaan di lumbung sudah banyak yang kehabisan.

Dalam mimpinya, Mbah Marlin memerintahkan agar mengadakan rokat di pohon Beringin. Mendapatkan mimpi yang demikian, yang bersangkutan bergegas mengadakan rokat, sungguh aneh tapi nyata, dua hari kemudian hujanpun turun dan tanaman padi terselamatkan.

Tradisi lainnya yang berkaitan dengan pohon Beringin ini, orang kampung Saya setiap mau berangkat merantau, nyelase (ziarah) dulu ke makam Buju’ Beringin, kemudian dilanjutkan mengambil daun pohon tersebut. Daun dimasukkan ke tas, atau ke kantong baju atau celananya. Konon, tetua-tetua kampung yang menyarankan, khasiatnya  mengambil dan membawa daun pohon Beringin tersebut, agar orang-orang kampung selamat diperjalanan dan diperantauan. Sebagian orang yang seangkatan Ayah Saya, masih terlihat melestarikan, untuk kalangan mudanya sudah jarang terlihat melakukan tradisi ini.

Makna Mengadakan Rokat

Mungkin tidak ada efek langsung antara tradisi rokat dengan turunnya hujan, dan keberhasilan pertanian masyarakat setempat. Demikian juga, hubungan langsung tindakan membawa daun pohon Beringin dengan keselamatan dan kesuksesan di perantauan. Kalaupun ada kaitannya, dua tradisi tersebut sangat sulit untuk dicarikan dalil rasionalnya, semisal mengkajinya dengan memakai perangkat nalar positifistik. Namun paling tidak, sekurang-kurangnya ada efek secara psikologis bagi orang yang melakukan dua tradisi ini.

Tradisi rokat sebenarnya masuk kategori “slametan”. Slametan berasal dari bahasa Arab “salam”, yang berarti selamat, tentram, tenang. Secara pengertian budaya, rokat merupakan media berdo’a bersama untuk sebuah pengharapan dan rasa syukur, sudah tentu komponennya adalah do’a bersama dan makan-makan bersama, lebih dari itu secara aksiologis rokat merupakan perwujudan solidaritas antar sesama, sama rasa dan sepenanggungan sebagai sesama penduduk suatu kampung (Baso, 2013:10). Pada titik inilah poin pentingnya, dan ‘mungkin’ saja dari rajutan energi positif ini, dapat mempengaruhi langit hingga turunlah hujan, bukankah do’a bersama dari orang-orang yang berjumlah 40, salah satu dari mereka pasti dikabulkan do’anya?

Makna Membawa Daun Beringin

Orang Madura sangat kental dengan kosakata “merantau”. Ada yang menghubungkan tradisi merantau ini dengan anjuran “hijrah” sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Perumpamaannya, bahwa manusia ibaratkan air, jika air menggenang akan membusuk, jika mengalir akan jernih dan tentu lebih memberikan maslahat pada sekitarnya.

Orang merantau luar biasa pengorbanan mentalnya, ia harus melampaui kemelekatannya pada tanah kelahiran, dimana kenangan masa kecil dilaluinya, jauh dari orang tua, saudara, dan handai tolannya. Kalau bukan karena dipaksa oleh keadaan, sulit rasanya melepas kemelatan-kemelakatan tersebut.

Pada titik ini, tradisi mengambil dan membawa daun pohon Beringin, bisa dimaknai sebagai anjuran agar sewaktu-waktu menoleh kebelakang, mengingat asal tempat, leluhur, dan orang-orang yang mencintai. Mengingat ‘asal-usul’ sebenarnya upaya kembali merajut kenangan-kenangan yang senantiasa dirindukannya. Hal ini, penting bagi orang Madura, mengingat asal-usul juga merupakan upaya untuk mempererat hubungan kekerabatan, yang biasanya ditunjukkan dengan “mudik”. Saat kembali berkumpul lagi itulah, setidaknya seseorang telah menyatukan kebhinekaan sosial, budaya, adat dan istiadat. Saling berbagi kisah dan pengalaman dari daerah rantauan masing-masing.

Kenapa untuk mewujudkan hal di atas, hanya dengan mengambil dan membawa daun pohon Beringin? Itu karena, pohon Beringin di kampung Saya, merupakan pohon yang paling besar, dan tentu paling gampang di ingat. Keberadaan pohon Beringin menambah fungsinya, yang awalnya hanya pohon belaka dan teduh, menjadi simbol hayal yang aktif, sewaktu-waktu tersenggol akan mempengaruhi ingatan orang-orang diperantauan untuk kembali mengenang kampung halamannya.

Sebagai garis bawah, tidak semua yang tampak irrasional harus diabaikan. Seperti penjelasan di atas, kearifan lokal “rokat” dan “mengambil dan membawa daun Beringin” ini, ternyata fungsi aksiologisnya, sangatlah luar biasa. Bukankan kita dianjurkan untuk memelihara kebiasaan lama yang baik, dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik? Allahu a’lam bi al-shawaab

*Sekertaris Lakspesdam PCNU Bangkalan

Comment here