KajianNews

Apakah Takdir Dapat Diubah? Jika Tidak, Untuk Apa Kita Diperintah Berusaha dan Berdoa? #2

Ilustrasi: Tumpukan catatan takdir manusia—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Pada tulisan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa takdir azāliy paten  tidak akan pernah berubah dan tergantikan. Dalam tulisan ini, kita akan menyinggung kembali beserta penggalan pertanyaan kedua dari tema tulisan ini.

كَيفَ يَكُونُ طَلَبُكَ اللَاحِقُ سبَبًا فِي عِطَائِهِ السَابِق؟ جَلَّ حُكْمُ الاَزَلِ اَن يُنْضَافَ اِلَى العِلَلِ. عِنَايَتُهُ فِيكَ لَا لِشَئٍ مِنكَ.

Artinya: “Bagaimana mungkin doa yang baru engkau panjatkan menjadi sebab pemberian Allah yang terencana sejak dulu (azāli)? Mustahil ketetapan azāliy disebabkan oleh suatu alasan (doa/usaha). Pertolongan Allah untukmu bukanlah sebab sesuatu (doa/usaha) darimu.”

Penggalan kalam hikmah Ibnu Athā’illah ini merupakan bentuk penegasan bahwa doa dan usaha manusia tidak menjadi sebab pemberian dan takdir yang telah Allah tetapkan dan ketahui akan tercipta sejak azāliy. Tidak ada hal-hal baru (doa dan usaha) yang dapat mengubahnya.

Mudahnya, semua yang terjadi di dunia ini telah terencana dan tercatat dalam pengetahuan azāli Allah sedemikian detailnya. Maka sangat tidak logis, jika hal baru, yakni doa dan usaha manusia, dianggap sebagai alasan berubahnya ketetapan Allah yang azāli tersebut.

Untuk Apa Kita Berdoa dan Berusaha jika Semuanya Telah Final Sejak Azāli?

Perhatikan pernyataan Hujjatul Islam Imam Al-Gazāliy dalam Ihyā’ Ulūmiddin berikut;

فإن قلت فما فائدة الدعاء والقضاء لا مرد له؟ فاعلم أن من القضاء رد البلاء بالدعاء.
[أبو حامد الغزالي ,إحياء علوم الدين ,1/328]

Artinya, “Jika Anda bertanya, apa gunanya doa jika ketetapan Allah (qādlā’) tidak dapat ditolak? Ketahuilah bahwa penolakan bala’ dengan cara berdoa itu bagian dari ketetapan Allah (qādlā’) itu sendiri.”

Sayyid Muhammad Murtadhā Az-Zabīdiī, di dalam Ittihāf as-Sādah al-Muttaqīn syarah Ihyā’ Ulūmiddin, menjelaskan pernyataan Imam Gazali “penolakan bala’ dengan cara berdoa itu bagian dari ketetapan Allah (qādlā’) itu sendiri”. Beliau menjelaskan:

بمعنى أن الله تعالى قدر على من يوقع البلاء به عدم الدعاء وقدر على من لا يوقع عليه البلاء وجود الدعاء.

Artinya, “Allah Taala telah menakdirkan tidak berdoa bagi orang yang Dia kehendaki tertimpa bala’, dan menakdirkan berdoa bagi orang yang Dia kehendaki tidak akan tertimpa bala’.”

Sejauh ini, pasti kita dapat menyimpulkan, bahwa usaha dan hasil dari usaha itu sendiri adalah bagian dari ketetapan takdir Allah. Setiap sesuatu yang akan terjadi, itu semua pasti disertai dengan “sebab” terjadinya sesuatu tersebut. Panjang umur yang merupakan hasil dari sedekah (berlandasan hadis sedekah) semua bagian dari takdir. Diperpanjang umurnya oleh Allah adalah takdir, dan usaha sedekah agar panjang umur juga takdir.

Untuk lebih luas silahkan baca sendiri uraian tentang hal ini di dalam kitab Ihya’ pembahasan “kitābu al-Adzkār wa al-Ad’iyyāt”.

Keyakinan ini selaras dengan Hadis Nabi yang dikeluarkan Imam At-Tirmidzi dari Abu Khizāmah dari ayahnya:

أَن رجلا أتَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِي بِهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقًاة نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا؟ قَالَ هي مِنْ قَدَرِ اللَّهِ.

Artinya: “Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, lalu ia bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda terkait ruqyah yang kami praktikkan, obat yang kami berobat dengannya dan penjagaan yang kami lakukan. Apakah semua itu dapat menolak ketetapan (qadar) Allah? Lantas Nabi menjawab, Semua itu bagian dari ketetapan (qadar) Allah!”

Di samping itu, doa dan usaha tetaplah memiliki peran dalam menentukan nasib seseorang. Sebab, tidak dapat dipungkiri, indera kita dapat mengkonfirmasi bahwa usah dan ikhtiar tetaplah memiliki peran dalam kehidupan, meskipun sebenarnya usaha dan ikhtiar itupun juga bagian dari takdir.

Oleh karena itu, orang berakal tidak akan menjadikan takdir yang telah final sebagai alasan bermalsa-malasan dan enggan untuk berusaha. Sebab hal itu akan mengantarkannya pada kekufuran dan menyalahkan takdir manakala ia terjerumus dalam lembah kehancuran. Ini alasan mengapa Ahlussunnah wal-Jamaah meyakini ikhtiar dan usaha (kasb) tetap berlaku bagi manusia seiring berjalannya takdir dan nasibnya.

Ilustrasi: Seoarang sedang berwujud menanggalkan semua angkuhnha di hadapan sang Khāliq—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Tujuan Doa Menurut Ibnu Athā’illah As-Sakandarī

Ibnu Atha’illah dalam kalam hikmah ke seratus tujuh puluh lima menulis:

لا يَكُنُ طَلَبُكَ سَببًا اِلَى العِطَاءِ مِنهُ فَيَقِلُ فَهْمُكَ عَنهُ وَلِيَكُن طَلَبُكَ لِاِظْهَارِ العُبُودِيَةِ وَقِيَامًا بِحَقُوقِ الرُبُوبِيَةِ

Artinya: “Jangan sampai permohonanmu (diyakini) sebagai sebab pemberian Tuhan. Karena hal itu menunjukkan pemahamanmu akan Tuhanmu masih sangat minim. Namun jadikanlah permohonanmu sebagai bentuk menampakkan kehambaanmu dan untuk memenuhi hak-hak ketuhanan.”

Maksudnya, seorang hamba dengan sifat “kehambaannya” di hadapan Tuhan dengan sifat “ketuhanan-Nya” tentu tidak sama dengan saat ia di hadapan sesama hamba. Konsekuensi sifat “kehambaan” adalah tunduk, patuh, dan memohon pada Yang Maha Sempurna dengan penuh perasaan hina, rendah diri dan faqir.

Sedangkan konsekuensi sifat “ketuhanan” adalah dipatuhi, diagungkan serta dipinta kemurahan-Nya atas kekayaan-Nya. Jadi, tujuan kita berdoa adalah menampakkan sisi kefaqiran dan kerendahan diri sebagai hamba di hadapan Tuhannya.

Jika dihadapan majikan dan atasan saja kita merendah dengan cara memohon, apalagi di hadapan Pencipta semesta yang Mahakaya dan tidak butuh pada yang lain.

Namun demikian, ada juga wali Allah yang enggan untuk berdoa. Akan tetapi bukan karena sombong atau jumawa, melainkan karena mereka sadar sepenuhnya bahwa Allah sudah tahu isi hati hamba-Nya, sehingga merasa tidak perlu megutarakannya.

Dalam kalam hikmah Ibnu Athā’illah yang ke seratus tujuh puluh sembilan diuraikan:

رُبّـَماَ دَلـَّهُمُ الاَدابُ علَى تَركِ الطلبِ. إنّـَما يُذَكَّرُ من يجوز عليه الاِغْـفالُ، وإنّـَما ينبـَّهُ من يجوز عليه الاِهمالُ.

Artinya: “Terkadang, demi menjaga etika, itulah alasan mereka yang arif enggan untuk memanjatkan doa. Sebab hanya ia yang terkadang lupa yang layak diingatkan, dan ia yang terkadang lalai yang pantas diperingati.”

Sedangkan Tuhan, apakah layak diingatkan dengan doa supaya tidak lupa atau lalai akan hak-hak hambanya? Tentu hanya orang-orang yang sangat lemah akidahnya yang meyakini demikian.

Rujukan:
Ihyā’ Ulūmiddin;
Ittihāf as-Sādah al-Muttaqīn;
dan
– Al-Hikam Al-Athā’iyyah.

Penulis: Ahmad Hamidi/Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil.

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here