KajianNews

Ngaji Hikam (2): Di Manakah Tingkatan Spiritual Anda? Antara Maqam Asbab dan Maqam Tajrid

Menyikapi Perkara Gaib dengan Kejernihan Hati
Di Manakah Tingkatan Spiritual Anda? Antara Maqam Asbab dan Maqam Tajrid

Setiap hamba memiliki tingkatan (maqam) spiritual dalam menunaikan perintah agama dan mendekatkan diri kepada Allah. Tingkatan dan kondisi itu dapat berbeda sesuai dengan ketetapan Allah. Karena perbedaan itulah, maka respon dan kiat-kiat yang harus ditempuh tentu berbeda-beda. Karenanya, seorang hamba harus mengetahui di tingkatan mana Allah menempatkan dirinya, supaya dapat menjalankan kiat-kiat kehidupan yang baik dan ibadah sesuai tingkatannya.

Setidaknya ada dua tingkatan kondisi spiritual bagi seorang hamba dalam berinteraksi dengan Allah. Pertama tingkatan asbab. Kedua tingkatan tajrid. Seorang hamba tidak boleh menyalahi aturan dan melampaui batasan tingkatan yang telah Allah tetapkan untuknya, dan berusaha beralih pada tingkatan lain.

Tingkatan Asbab

Tingkatan Asbab adalah kondisi di mana seorang hamba berada di bawah ruang lingkup sebab (sarana). Artinya, di manapun dia berada dan apapun yang diinginkan, dia selalu membutuhkan sarana untuk menjalani dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa sarana itu keinginannya tidak akan terpenuhi.

Nah, di tingkatan asbab ini, dia tidak boleh meninggalkan sarana-sarana yang harus ditempuh dan beralih pada tingkatan tajrid (kondisi mengalirnya rezeki tanpa sarana kerja). Sebab, upaya meninggalkan apa yang telah Allah tetapkan untuknya sama halnya berusaha menentang dan tidak terima akan keputusan-Nya. Dan itu termasuk nafsu dan syahwat yang tersembunyi dalam dirinya. Hal ini ditegaskan Syekh Ibnu Atha’illah:

إرادتُك التَجْريدَ مع إقامةِ اللهِ إياكَ في الأسبابِ من الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ

Artinya: “Keinginanmu pada tingkatan tajrid, padahal Allah menempatkanmu di tingkatan asbab, itu termasuk syahwat yang terselubung”

Syekh Buthi memberikan ilustrasi terkait hal ini. Seorang yang memiliki keluarga; anak, istri, dan kerabat jelas berbeda dengan seorang yang tinggal sendiri tanpa keluarga. Seorang suami punya tanggung jawab atas istri. Ayah punya tanggung jawab atas anak. Saudara punya tanggung jawab atas kerabat. Dan tanggung jawab itulah ladang ibadahnya. Itulah yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

Dia harus memenuhi tanggung jawab itu sebaik mungkin. Tidak boleh mengabaikan hak keluarga. Tidak dibenarkan dia berkata, “Aku tidak mau bekerja. Toh, itu hanya sarana. Allah maha memberi rezeki bagi hambanya yang taat. Semua di dunia ini sudah Allah atur rezekinya. Lebih baik aku fokus shalat, puasa, dzikir, membaca Al-Qur’an dan sibuk dengan ibadah. Aku akan meninggalkan sarana itu dan memusatkan konsentrasi pada Tuhan pemilik sarana.”

Pernyataan demikian hanya datang dari orang yang tidak tahu tingkatan yang Allah tentukan untuknya. Secara lahir seakan-akan ia paling beriman, paling bertauhid, tapi sejatinya ada nafsu dan syahwat yang terselubung dalam dirinya. Syahwat untuk beralih dari apa yang ditetapkan oleh Allah untuknya pada apa yang diinginkan oleh nafsunya. Syahwat untuk dianggap sebagai orang zuhud dan anti duniawi.

Lagipula, andai memang keyakinan, keimanan, dan tauhidnya sekuat itu hingga merasa tidak perlu bekerja sebagai sarana untuk memperoleh rezeki, atas dasar apa dia memaksa keluarganya untuk ikut serta menanggung konsekuensi dari keyakinannya? Atas dasar apa dia memaksa keluarganya untuk zuhud seperti dirinya? Tentu hal ini tidak dibenarkan syariat.

Syariat, tegas Syekh Buthi, memerintah agar memberikan kehidupan yang paling baik untuk keluarga semampunya, mendidik anak, baik lahir, batin dan akalnya. Dan itu semua ada sarana dan perantara (asbab) yang Allah sediakan untuknya. Maka berpaling dari sarana-sarana itu adalah bentuk su’ul adab dan membangkang pada Allah. Karena hanya tunduk pada hawa nafsunya.

Lantas, bagaimana yang benar? Yang benar bagi orang yang berada di tingkatan asbab seperti ini adalah bekerja dan ikhtiar dengan baik untuk memenuhi kebutuhan. Di samping itu, berusaha membahagiakan keluarga juga tidak kalah penting. Berkumpul, murah senyum, dan komunikasi dengan baik pada sanak famili. Secara zahir semua itu memang terkesan perilaku yang bersifat duniawi, tapi sejatinya bernilai ibadah yang dapat mendekatkan pada Allah. Karena telah tunduk pada sarana-sarana di tingkatan dan aturan yang Allah tentukan untuknya.

Ibadah Bukan hanya Amalan Itu-Itu Saja

Lagipula, tegas Syekh Buthi dalam Syarh watahlil al-Hikam al-Atha’iyyah, ibadah tidak hanya terbatas pada amalan-amalan tertentu. Setiap amal baik jika tujuannya mencari rida Allah maka bernilai ibadah. Hanya saja memang disesuaikan dengan kondisi dan tugas-tugas yang Allah tentukan.

Seorang dokter ibadahnya adalah memberikan pengobatan yang baik untuk pasien. Seorang politikus ibadahnya adalah berpolitik sesuai dengan prosedur. Begitupun suami ibadahnya adalah berhubungan baik dengan keluarga dan mencukupi kebutuhan ekonomi. Pemerintah ibadahnya menjalankan amanah kepemimpinan sebaik mungkin untuk kebaikan rakyat.

Semua bernilai ibadah jika tujuan utamanya mencari rida Allah. Setara dengan ibadah seorang salik yang hanya memusatkan konsentrasi pada dzikir dan ibadah sunnah karena tidak memiliki tanggung jawab apapun atas orang lain, baik tanggung jawab sosial, politik dan kekeluargaan.

Tingkatan Tajrid

Tingkatan tajrid adalah kebalikan tingkatan asbab. Yaitu kondisi di mana seorang hamba tidak lagi terikat dengan asbab (sarana-sarana) dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak memiliki tanggung jawab atas istri, anak, dan kerabat dekat. Memiliki persediaan harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, bahkan sampai meninggal.

Pertanyaannya, dengan kondisi demikian, lebih baik baginya tetap sibuk dengan kerja dan kerja sebagai sarana menambah kekayaan, atau mencukupkan diri dengan harta yang ada? Syekh Ibnu Atha’illah memberikan jawaban atas pertanyaan ini:

وإرادتُك الأسبابَ مع إقامةِ اللهِ إياكَ في التَجْريدِ انْحِطَاطٌ عن الهِمَّةِ العَلِيَّة.

Artinya: “Sedangkan keinginanmu pada tingkatan asbab, padahal Allah menempatkanmu di tingkatan tajrid, itu bentuk merosotnya ambisi luhur.”

Orang-orang yang diberikan kecupan rezeki tanpa sarana kerja keras, mereka adalah orang-orang pilihan dan ditempatkan Allah di tingkatan yang luhur. Mengapa? Karena dengan dicukupi rezeki, tanggung jawabnya bukan lagi membiayai. Melainkan, kata Syekh Buthi, tugasnya menegakkan agama dengan memaksimalkan konsentrasi belajar, mengajar, beribadah, dan berjihad di jalan Allah.

Dan ini adalah cita-cita yang luhur. Nah, orang yang hendak beralih dari kondisi yang luhur ini, tentu merupakan bentuk penurunan tingkatan dan perosotan ambisi luhur. Oleh Allah dijauhkan dari kesibukan duniawi supaya konsentrasi terpusat pada agama yang luhur, malah beralih pada kesibukan duniawi yang hina.

Syariat sebagai Tolak Ukur untuk Mengetahui Tingkatan Spiritual

Sejauh ini, dapat kita simpulkan bahwa tolak ukur seseorang berada di tingkatan asbab atau tajrid itu adalah syariat. Perhatikan praktik-praktik di lapangan yang diilustrasikan Syekh Buthi berikut:

Pertama, sekelompok jemaah haji ke baitullah. Sebagian dari mereka bebas dari tanggung jawab apapun dan memiliki banyak waktu luang. Sedangkan sebagian yang lain adalah para dokter atau petugas yang bertanggungjawab atas pasien atau orang-orang yang tiba-tiba sakit di sekitar mereka serta menyediakan tempat istirahat dan kebutuhan lainnya.

Sekelompok haji murni di tingkatan tajrid. Tuntutan yang wajib mereka lakukan adalah memusatkan diri pada ibadah, dzikir, dan hal-hal sunnah. Sedangkan para dokter ada di tingkat asbab. Kewajibannya adalah menjalankan dengan baik tugasnya. Dokter bertugas mengobati pasien. Sedangkan petugas bertugas melayani jemaah dengan sebaik-baiknya pelayanan.

Tidak dibenarkan jika petugas malah lebih fokus pada ibadah sunnah, membaca Al-Qur’an, dzikir, dan semacamnya daripada tugasnya sebagai pelayan orang-orang yang sedang menunaikan haji. Mengapa? Karena Allah tetapkan di situ tugasnya. Di tingkatan asbab kedudukannya. Maka tidak boleh beralih mengikuti nafsunya.

Kedua, pelajar yang oleh orang tuanya diperintahkan fokus belajar syariat. Semua kebutuhan dan biaya hidup ditanggungnya. Dengan demikian, ia berada di tingkatan tajrid sesuai dengan tolak ukur syariat. Maka tanggung jawabnya adalah memusatkan diri hanya untuk belajar, belajar dan belajar.
Tidak dibenarkan untuk bekerja. Sebab, semuanya sudah ditanggung orang tuanya. Hal ini yang dialami Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Saat Ramadhan al-Buthi kecil belum genap lima belas tahun, ayahandanya, Syekh Mulla Al-Buthi, berkata padanya: “Kalau saja jalan menuju Allah terletak pada menyapu sampah, pasti akanku jadikan kamu pemulung. Namun aku merenung, dan menemukan, bahwa jalan yang dapat mengantarkan pada Allah hanya dengan mempelajari agama dan syariat-Nya. Maka tempuhlah jalan ini!”

Beliau berkisah, bahwa dalam rihlah ilmiahnya, teman-teman karibnya berdatangan silih berganti mengajaknya bekerja untuk memperoleh rezeki dan harta. Bahkan memperingati supaya tidak terus-menerus berada di jalan yang dijanjikannya pada sang ayah. Hanya saja Allah meneguhkan beliau di jalannya. Keteguhan beliau di jalur itu adalah bentuk menjalankan syariat Allah yang meletakkannya di tingkatan tajrid.

Ketiga, pedagang yang bekerja mulai dari pagi sampai sore hari untuk mencukupi ekonomi keluarga. Sedangkan dari sore hingga esoknya adalah waktu luang. Dengan demikian, dia senantiasa berada di salah satu dua tingkatan dalam waktu tertentu. Dan di tingkatan lain di waktu lain. Dari pagi hingga sore di tingkatan asbab. Dari sore hingga esoknya di tingkatan tajrid.

Dan orang yang memiliki dua tingkatan sekaligus seperti ini harus tahu batas-batasnya. Kapan dia di tingkatan tajrid. Kapan di tingkatan asbab. Supaya setiap waktu ia dapat memenuhi hak kewajibannya sesuai dengan tingkatan yang berlaku di waktu itu baginya.

Di siang hari harus bekerja. Sedangkan malam harus ibadah, belajar syariat dan berhubungan baik dengan keluarga. Tidak boleh mengurangi salah satunya untuk beralih pada yang lain.

Keempat, pelajar yang melanjutkan rihlah ilmiahnya ke luar negeri yang notabene mayoritas penduduknya non-Muslim. Sayangnya setelah tamat pendidikan malah terobsesi pada harta dan kehidupan yang diidamkan. Hingga istri dan anaknya pun dibawa merantau ke negara tempat ia bekerja. Mereka hidup dengan bahagia dengan gemerlap duniawi. Bukan hanya itu. Jika dirinya terpengaruh oleh kehidupan Islami di daerahnya sekaligus kehidupan ala non-Muslim di Barat, anaknya lebih darinya.

Anaknya hanya dipengaruhi ole lingkungan Barat. Ambisius duniawi lebih mendominasi dalam kepribadian dan pola pikirnya. Kondisi demikian tentu tidak dibenarkan oleh syariat. Mengapa? Karena sebenarnya di Barat, sebagai pelajar, dia berada di kondisi tingkatan tajrid. Bukan asbab. Maka tugasnya hanya belajar dan belajar sesuai dengan tujuan awal. Bukan malah mencari sesuap nasi. Pengalihan dari tingkatan satu ke tingkatan lain menciderai syariat dan kondisi spiritualnya.

Kalaupun dia sudah menamatkan pendidikan di Barat dan beralih pada kondisi asbab, seharusnya dia pulang ke negara asalnya yang identik dengan Islami. Sehingga asbab (sarana-sarana) yang ia tempuh guna memenuhi kebutuhan ekonomi terindentifikasi berupa sarana syar’i dan Islami. Bukan sarana kerakusan ala Barat.

Bahkan, seandainya dia kesulitan menemukan sarana rezeki di negara asalnya, tetap tidak dibenarkan tindakan menetap di Barat sebagai bentuk ambisius pada harta. Kata Syekh Buthi, ketetapan Allah menuntut agar mengorbankan ladang rezeki demi keselamatan agama. Bukan sebaliknya, mengorbankan keselamatan agama demi ladang rezeki.

“Dan barangsiapa hijrah di jalan Allah, niscaya di bumi pasti menjumpai tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak” (QS. an-Nisa’ [4]:100)

Boleh jadi Allah menguji ekonomi dan sebagainya supaya tampak ketabahan seseorang dalam memprioritaskan agama dibandingkan duniawi. Hingga akhirnya Allah pasti menghadiahkan kebahagiaan dan keridaan. Wallahu A’lam.

Penulis: Ahmad Hamidi, Pengajar dan Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil.
Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here