Oleh : KH. Muhammad Makki Nasir*
Manusia itu, kata Al-Farabi, selalu diapit oleh dua kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu; di satu sisi manusia memiliki kekuatan nalar sebagai insan yang berfikir, dan di sisi lain juga memiliki kekuatan liar dan buas hewani.
Dua kekuatan ini senantiasa berkompetisi merebut kecenderungan diri manusia. Kalau yang pertama dominan, seseorang tampak dengan segala kelebihannya sebagai manusia berakal. Tapi di saat kekuatan kedua yang dominan, maka manusia tak ubahnya hewan yang bisa buas kapan saja, tanpa perhitungan, tanpa fikiran, tanpa kontrol dan lain sebagainya.
Salah satu ciri mendasar yang membedakan dua kekuatan itu adalah kemampuan untuk menentukan target dari setiap tindakan dan pilihan. Kalau orientasinya pragmatis, kepuasan sesaat, kata Al-Farabi menunjukkan dominasi kekuatan hewani. Sedangkan apabila kekuatan sebagai insan berakal yang dominan, niscaya setiap tindakannya akan berorientasi pada kemaslahatan-kemaslahatan di masa depan, visioner, untuk kenyamanan hari esok dan lain sebagainya.
Tentu ada hal sederhana yang bisa disimpulkan sebagai intisari konsep Al-Farabi di atas, yaitu; dalam banyak hal, kekuatan hewani harus ditekan sekuat-kuatnya agar dominasinya terbatas dan sepenuhnya by control oleh akal, sedangkan kekuatan insani (sebagai manusia yang berakal) hendaknya dirawat, dikembangkan dan di eksplorasi supaya bermanfaat sebagaimana mestinya. Dan asupan primer dalam merawat potensi akal insani tak lain adalah ilmu pengetahuan, termasuk dalam hal ini, dan yang sangat penting sekali, adalah pengetahuan agama.
Agama sebagai sumber pengetahuan akal manusia, telah menggariskan orientasi pergerakan manusia dalam konstelasi dinamika sosial; diantaranya adalah orientasi kedamaian, menghindari konflik dan kekacauan. Baik al-Qur’an maupun Hadits, sebagai sumber primer dalam Islam, tidak sedikit kandungannya menyerukan terwujud dan terpeliharanya kedamaian serta kondusifitas sosial. Misalnya dalam surah al-Baqarah 208, Allah berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱدۡخُلُوا۟ فِی ٱلسِّلۡمِ كَاۤفَّةࣰ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَ ٰتِ ٱلشَّیۡطَـٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوࣱّ مُّبِینࣱ
(Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam kedamaian secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu)
Term as-silmi dalam ayat di atas, sebagaimana tafsir yang dikemukakan al-Imam Fakhruddin ar-Razi, maknanya adalah damai, tanpa peperangan dan konflik, saling memelihara kerukunan sosial. Sedangkan makna menuruti langkah-langkah syaitan adalah berorientasi pada capaian materi dan berkonflik dengan sesama manusia.
Dalam ayat yang lain, Al-Qur’an menggambarkan kisah Nabi Ibrahim yang sangat menginginkan terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian bagi negerinya:
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰهِـۧمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا بَلَدًا ءَامِنࣰا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَ ٰتِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِیلࣰا ثُمَّ أَضۡطَرُّهُۥۤ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِیرُ
(Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,” Dia (Allah) berfirman, “Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”)
Kenapa Nabi Ibrahim terlebih dahulu memohon kedamaian sebelum lainnya? Jawabannya, menurut ar-Razi, karena kedamaian adalah anugerah terbesar dari Allah SWT, dimana kemaslahatan dunia maupun akhirat tidak mungkin tercapai tanpanya. Sebagai inti kemaslahatan, yang menentukan eksistensi kemaslahatan-kemaslahatan lainnya, tentu perhatian terhadap sisi kedamaian dan kondusifitas sosial merupakan orientasi pergerakan tak bisa dikesampingkan.
Doktrin-doktrin agama seperti di atas tak lain adalah asupan nutrisi bagi akal manusia agar pilihan dan tindakannya tidak sekadar memikirkan kepuasan pragmatis, emosi sesaat, dan menang-menangan egoisme, tapi betul-betul memikirkan kecerahan hidup dan masa depan yang maslahat untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat secara umum.
Dalam situasi-kondisi terjadi ketegangan sosial, seseorang atau kita semua benar-benar diuji; seberapa kuat menekan potensi-potensi liar hewani dalam diri; Apakah tindakan kita sudah mencerminkan kepribadian sebagai manusia, atau masih kalah dengan kekuatan hewani diri sehingga tak ada bedanya tindakan kita dengan sapi, kambing dan lain semacamnya (?)
*Ketua PCNU Kabupaten Bangkalan
Comment here