nubangkalan.co.id – Hampir semua hal yang ada di sekitar kita adalah sesuatu yang berbau dualisme; bahwa dalam kehidupan sehari-hari ada dua prinsip yang saling bertentangan. Seperti ada kebaikan ada keburukan, ada terang ada pula gelap, pun ada malam ada siang, dan sebagainya.
Dalam esai ini, saya akan uraikan satu seni untuk melihat semua itu. Tujuannya satu, supaya kita tidak salah dalam memandang atau, setidaknya, menghasilkan sebuah pola hidup yang lebih positif dalam melihat kehidupan yang sangat kompleks. Akibatnya, kalau salah memandang, atau pandangan kita akan ke-dualisme-an itu keliru, maka akan ada satu titik hitam yang tercatat sebagai salah satu keburukan.
Sebelum saya uraikan misal tersebut, perlu diketahui bahwa semua uraian dan tulisan ini semacam renungan dan poin pemahaman saya dari teks-teks kitab klasik. Ada sih sedikit kutipan dari buku bacaan, tapi tidak banyak. Hanya sebagai penguat perspektif saja. Silakan dibaca, insyaallah manfaatnya. Pun kalau ada yang tidak enak dibenak Anda, abaikan saja. Cukup senyumin saja.
Contoh pertama, mari mulai dengan hal yang sangat dekat dengan kita; sifat yang sering kita rasakan. Antara senang dan sedih. Dua rasa ini silih berganti datang kepada mereka yang dikehendaki. Senang datang, sedih pun hilang. Pun sebaliknya, sedih menghampiri, senang pergi.
Yang sering dilupakan oleh orang-orang adalah prinsip dualisme ini nyata adanya. Jangan dilupakan. Karena, kalau lupa, ketika dihampiri kesedihan dia akan sulit menghilangkannya. Dia akan berlarut-larut dengan kesedihan tersebut, dianggap masalah penyebab kesedihannya itu tidak akan pernah singgah. Kenapa dia terlalu berlarut-larut? Iya, karena dia lupa, bahwa konsep dualisme itu ada.
Kesedihannya tersebut akan hilang, akan digantikan kesenangan, yang mungkin, akan lebih lama dan lebih besar. Masalahnya, dia lupa akan hal itu. Sebab, pertama kali yang harus dipandang untuk menghilangkan kesedihan adalah harus ingat bahwa setelah kesedihan akan mampir sebuah kesenangan; Fa’inna ma‘al-‘usri yusrā(n), “Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. al-Insyirah [94]: 5).
Inilah contoh yang dimaksud saya seni melihat kehidupan yang serba-dualisime. Keduanya harus selalu kita lihat. Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Karena sisi yang lain tidak pernah punah, dia hanya pergi. Pada suatu saat akan kembali menggantikan sisi yang lain. Habis gelap muncullah terang.
Jika kita balik pun sama; ketika rasa senang lagi ramah pada kita, misalnya doa yang dilangitkan perihal keinginan kita dikabulkan oleh-Nya, maka jangan pernah lupa disyukuri. Karena kalau lupa, Sang Pemberi kapan saja bisa menggantinya karena tidak disyukuri. Berbeda kalau kita tidak lupa bersyukur, maka kesenangan itu senang berlama-lama di dalam diri kita.
Jadi, bersedih karena musibah boleh, tapi yang tidak boleh adalah berlarut-larut dalam kesedihan. Sebab, akan menjadi pemicu ketidakterimaan kita dengan apa yang telah digariskan oleh-Nya. Pun kita harus pandai mensyukuri kenikmatan yang berupa kesenangan supaya apa yang telah digariskan dan kita senangi, tidak mudah diganti oleh-Nya. Atau bahkan, ditambah dengan kesenangan lain: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(QS. Ibrahim [14]: 7)
Misal yang telah diuraikan adalah satu seni melihat kehidupan yang serba dualisme. Seni ini berlaku untuk contoh lain. Artinya, jangan pernah lupa dua sisi dari setiap laku, ucap, atau bahkan diam pun punya dua sisi.
Khusus dalam konteks diam, tentu perlawanannya adalah gerak. Diam datang, gerak pergi. Begitu juga sebaliknya. Kapan berdiam kapan bergerak, juga perlu seni untuk meletakkan sesuai dengan tempatnya. Diam pada waktu yang salah, akan memunculkan sisi buruk dari diam tersebut. Misal diam ketika melihat anak kita berbuat hal negatif, tentu diam dalam kasus ini adalah keliru. Sebab, akan muncul kebiasaan anak untuk melakukan hal serupa; hal negatif.
Contoh diam yang positif adalah ketika, misalnya, kita ditanya perihal suatu hukum, tapi kita tak tahu akan jawabannya, maka dalam konteks ini, diam adalah hal baik. Sebab, jika dijawab, itu artinya kita bergerak ke tempat yang salah. Walhasil, keduanya, diam dan gerak, adalah hal yang selalu bertautan. Tak terkecuali akibat dari keduanya ketika tidak digunakan sesuai porsinya.
Semua kesimpulan misalnya yang terakhir ini, secara eksplisit, tertuang dalam pengantar konsep teologi, bahwa “setiap sesuatu kalau tidak wujud, ya tidak wujud, kalau tidak bergerak, ia pasti sedang diam. Tidak mungkin ada sesuatu, ia tidak bergerak sekaligus tidak diam.” (lihat di buku-buku tentang teologi).
Semoga bermanfaat, sekian.
Penulis & Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here