Sebagai umat manusia yang sampai detik ini diberi kesempatan untuk mnghirup udara segar, sangat wajib untuk terus menghembuskan nafas syukur kepada Tuhan yang maha esa. Karena apapun yang kita lakukan merupakan anugrah yang luar biasa. Salah satu kewajiban kita pada bulan ramdhan adalah berpuasa satu bulan penuh. Tentu ini bukan hanya perintah ansich yang tidak punya pesan social secara syumul (konprenhesif). Disamping sebuah nash dari Allah Subhanahu Wataala, puasa memiliki hubungan erat dengan kehidupan sosial sekitar kita.
Puasa sejatinya bukan hanya menahan makan dari fajar sampai maghrib. Bukan pula hanya sebatas meninggalkan hal hal yang membatalkan, namun bagaimana puasa ini dapat membentuk karakter manusia lebih peka dengan keadaan sosial yang ada didepan kita. Secara epistimologi, ibadah baik ritual maupun social seharusnya menggambarkan nilai keimanan seseorang.
Shalat misalnya, adalah sarana komunikasi dengan sang Pencipta. Bukan sekadar, Gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Lebih dari itu semua, bagaimana shalat membentuk kepribadian seorang hamba lebih ‘bergairah’ dalam upaya meningkatkan nilai-nilai social sebagai jewantah bahwa kita adalah umat manusia yang saling membutuhkan. Begitupula dengan puasa, sejatinya mengantarkan kita lebih pada ikut merasakan apa yangh dirasakan oleh saudara kita yang berada dalam garis kekuarangan. Disnilah keadaran kita harus ditumbuhkan dalam ruang lingkup sedekah dan saling olong menolong.
Rasulullah Shallallahu alai wasallam bersabda “Empat golongan yang dirindukan Syurga. Pertama, orang yang membaca al-Quran. Kedua, menjaga lisannya. Ketiga, memberi makanan orang-orang yang kelaparan. Keempat, orang-orang yang berpuasa dibulan Ramadhan”.
Dari hadis diatas, betapa kita dianjurkan untuk selalu membantu orang orang yang membutuhkan akan uluran tangan kita, memberi makanaN kepada orang yang kurang mampu adalah ciri ciri yang dirindukan oleh syurga. Komitmen berpuasa ini adalah berhubungan dengan rasa kita sebagai umat Islam Ketika melihat saudara yang berada dalam garis kekurangan. Bisa merasakan apa yang mereka rasakan setiap detik dan setiap harinya. Karena ketika kita berpuasa, dimana sedang menahan lapar, haus dan keringnya tenggorokan, disitu tersadar bahwa saudara kita yang berkekurangan merasakan hal sama, dan dengan waktu yang cukup lama.
Disinilah tuntukan kita agar selalu konsisten dengan nilai-nilai agama yang universal. Bahwa rutinitas ubudiyah jangan sampai melupakan sisi sosial yang menjadi tanggung jawab kita bersama.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa; “Rasulullah adalah orang paling dermawan diantara manusia lainnya, dan ia semakin drmawan saat berada dibulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagai makhluk paripurna Rasulullah mengajarkan kita untuk selalu tunduk pada syariat. Tunduk kepada nash nash yang mengarahkan kita untuk selalu berbuat baik. Maka sangat tidak pantas dan kurang elok jika keberadaan kita yang diberi sesuatu yang lebih justru menutup mata pada kondisi masyarakat sekitar. Jika tidak mampu untuk berbagi dengan kekuatan sendiri, bisa dengan cara mencari para dermawan untuk selanjutnya disalurkan kepada yang berhak. Inilah sejatinya bagian dari komitmen ibadah puasa umat Islam.
Merawat dan menjaga tatana sosial disekeliling adalah aturan main syariat yang sangat vital. Dalam terma keimanan, peduli terhadap sesame termasuk bagian dari prinsip hidup yang harus ditanam dalam otak dan hati. Bahwa barang siapa yang mengimani hari akhir , harus peduli (menghormati) terhadap sekelilingnya, merupakan komitmen bersama dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita menyadari kehidupan bersosial, tanpa harus harus ada ketimpangan antara satu dengan yang lain, maka cita cita luhur untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang beradab bukanlah cita cita semu yang ditanam oleh konsep konsep mentah dan selalu didiskusikan.
Maka perlu sesekali bagi kita untuk merenung dan berfikir dikeheningan malam. Lebih lebih dimomentum bulan puasa, agar obsesi untuk menjadikan masyarakat beragama menjadi kenyataan. Yang urgen, momentum bulan puasa dijadikan sebagai muhasabah diri kita, untuk menjunjung nilai nilai kemanusian menuju kehidupan yang bernuasan relegi dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
*Pengasuh PP. Falahun Nashiri senenan Bangkalan , Ketua PCNU Bangkalan, Ketua MUI Bangkalan
Comment here