KolomTokoh

Memaknai Negara Berdaulat

Oleh : KH. Makki Nasir*

14 abad lalu, pada saat duka menyelimuti seluruh umat Islam Madinah karena wafatnya Rasulullah, bahkan emosi Sayyidina Umar bin Khattab nyaris tak terbendung karenanya, di tengah duka itu para Sahabat terbaik Rasulullah, kecuali beberapa saja dari mereka, segera bergegas memikirkan perkara yang sangat penting sekali, yaitu; siapa pemimpin Negara Madinah pasca Nabi.

Sedemikian besarkah pentingnya Negara Madinah hingga sebagian besar para sahabat Rasulullah, untuk kepentingan negara, mengesampingkan prosesi pengurusan janazah nabi Muhammad manusia termulia, hanya demi kelangsungan institusi politik yang bernama negara?

Gambaran sekelumit tentang jejak sejarah para Sahabat Nabi di atas adalah jawabannya; bahwa tegaknya kepemimpinan dan negara yang berdaulat merupakan hal pertama dan utama yang sangat penting sebagai dasar kelangsungan kehidupan berbangsa dan beragama.

Bahkan ada ungkapan yang sangat masyhur di kalangan ulama, bahwa “Satu tahun dipimpin oleh orang dzolim masih lebih baik daripada satu jam tanpa adanya seorang pemimpin.”

Kenapa sebegitu pentingnya? Karena, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Juwaini al-Haramain dalam kitab al-Ghiyatsi, jika kehidupan bangsa dibiarkan tanpa kendali kepemimpinan, sedangkan pandangan dan kepentingan hidup masyarakat berbeda-beda, niscaya tatanan sosial akan berantakan, chaos, orang-orang zalim bebas menjarah, kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda akan saling bertabrakan satu sama lain, serta kekacauan-kekacauan merata. Kalau sudah begitu, kata al-Haramain, urgensi tegaknya institusi politik yang bernama negara sudah tidak butuh banyak argumentasi, karena Allah lebih banyak menciptakan kerukunan dan keteraturan melalui kekuasaan negara daripada melalui Al-Qur’an.

Maka disinilah pentingnya tetap berada dalam kendali negara; agar sebesar apapun kehendak masyarakat tetap berada dalam koridor yang tidak berseberangan dengan kehendak negara. Kalau tidak, dalam arti setiap warga negara bebas mengekspresikan kehendak yang bahkan menabrak batas-batas yang diatur negara, misalnya supremasi hukum maupun norma –norma sosial yang berlaku, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kondisi buruk yang digambarkan al-Haramain itu.

Tentu dalam urusan taat kepada kekuasaan negara, Islam memberi batas yaitu selama tidak dalam rangka maksiat kepada Allah Swt. Namun demikian, tetap saja tidak ada dalam tradisi Islam Ahlusunah Waljamaah tindakan-tindakan pemberontakan kepada negara. Karena, seperti di atas, seburuk-buruknya kepemimpinan masih lebih baik daripada chaos tanpa kendali kepemimpinan.

Demikian itu, bukan berarti dalam Islam Negara memiliki kuasa mutlak dan absolut; jika secara jelas terdapat kebijakan negara yang memuat kemunkaran dan menabrak larangan syariat secara qath’i, maka ada mekanisme kontrol sesuai supremasi aturan amar makruf nahi munkar, dengan tetap memperhatikan efek sekiranya tidak menimbulkan mafsadah yang lebih buruk.

*Ketua PCNU Bangkalan

Comment here