Kajian

Ketika Menggunakan Henna, Bagaimana Hukum Wudhunya?

Ilustrasi: Ketika Menggunakan Henna, Bagaimana HukumWudhunya? (Sumber: ChatGPT)

nubangkalan.co.id – Ketika ingin berwudhu dan ada kotoran di bawah kuku, maka bagaimana ulama menghukuminya? Ulama berbeda pendapat dalam masalah keabsahan wudhunya.

Perkembangan henna di Indonesia mulai terlihat sejak beberapa tahun terakhir, terutama seiring dengan meningkatnya minat terhadap budaya dan seni dari negara-negara Timur Tengah dan India. Henna kini populer sebagai bentuk seni tubuh, sering digunakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, tunangan, dan perayaan lainnya.

Di Indonesia, motif henna sering kali diadaptasi dengan elemen budaya lokal, menciptakan desain yang unik dan menarik. Selain itu, semakin banyak pengusaha lokal yang menawarkan layanan lukis henna, baik secara profesional maupun di acara-acara komunitas.

Di sisi lain, timbul pertanyaan dari kalangan umat muslim, khususnya kaum perempuan yang gemar memakai henna di tangannya, yaitu ketika melakukan thahārah (berwudhu atau mandi wajib), ada yang berasumsi bahwa itu tidak sah karena terdapat henna di sebagian anggota tubuhnya.

Dalam hal ini, ulama menjabarkan dengan detail bahwa yang membuat tidak sah thahārah-nya adalah jika yang terdapat pada anggota tubuhnya adalah kahanan (ainīyyah) dari pada hennanya, bukan bekasnya. Adapun bekasnya maka tetap sah thahārah-nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’ānatut Thālibīn karya Syeikh Abu Bakar Syatha berikut:

و رابعها: أن لا يكون على العضو حائل) بين الماء والمغسول، (كنورة) وشمع ودهن جامد وعين حبر وحناء، بخلاف دهن جار أي مائع – وإن لم يثبت الماء عليه – وأثر حبر وحناء

  قوله: وأثر حبر وحناء أي وبخلاف أثر حبر وحناء فإنه لا يضر. والمراد بالأثر مجرد اللون بحيث لا يتحصل بالحت مثلا منه شئ   (البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٤٥/١)

Artinya: “(Syarat yang keempat) (tidak boleh ada penghalang pada anggota tubuh) antara air dan anggota badan yang dibasuh, seperti noda, lilin, minyak padat, tinta, dan henna. Berbeda halnya dengan minyak cair (meskipun air tidak menetap di atasnya), serta bekas tinta dan henna.

“maksudnya perkataan mushonnif yang berupa ‘Bekas tinta dan henna’ adalah beda halnya dengan bekas tinta dan henna, maka itu tidak membahayakan keabsahan thaharah. Adapun yang dimaksud dengan bekas adalah hanya warnanya saja, sekiranya jika digosok tidak ada yang luntur.” (Syekh Abu Bakar Syatha, I’ānatut Thālibīn, juz 1, halaman. 45, Maktabah Syamilah)

Keterangan ini selaras dengan penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’. Berikut redaksinya:

السَّابِعَةُ إذَا كَانَ عَلَى بَعْضِ أعضائه شمع أو عجين أو حناء واشتباه ذلك فمنع وصول الماء الى شئ من العضو لم تصح طهارته سواء كثر ذَلِكَ أَمْ قَلَّ وَلَوْ بَقِيَ عَلَى الْيَدِ وَغَيْرِهَا أَثَرُ الْحِنَّاءِ وَلَوْنُهُ دُونَ عَيْنِهِ أَوْ أثر دُهْنٍ مَائِعٍ بِحَيْثُ يَمَسُّ الْمَاءُ بَشَرَةَ الْعُضْوِ وَيَجْرِي عَلَيْهَا لَكِنْ لَا يَثْبُتُ صَحَّتْ طَهَارَتُهُ  (النووي ,المجموع شرح المهذب ,1/467)

Artinya: “Masalah Ketujuh:  jika ada lilin, adonan, atau henna di sebagian anggota tubuh seseorang yang menghalangi air sampai ke bagian tersebut, maka tidak sah thaharahnya, baik itu sedikit atau banyak. Apabila terdapat bekas henna atau warnanya (bukan kahanannya) di tangan atau bagian lainnya, atau ada bekas minyak yang cair yang memungkinkan air menyentuh kulit anggota tubuh dan mengalir di atasnya, meskipun air tersebut tidak menetap di atasnya maka sah thaharahnya.” (al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdhab, juz 1, halaman 467)

Jadi, kesimpulannya bahwa dalam thahārah (baik wudhu atau mandi wajib), jika henna tersebut menghalangi sampainya air kepada anggota tubuh yang wajib dibasuh maka tidak sah. Namun, apabila hanya bekasnya saja yang tersisa dan tidak menghalangi sampainya air maka tetap sah. Allāhu a’lam

Rujukan:

  • Imam Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhaddab, Maktabah Syamilah.
  • Syeikh Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, Maktabah Syamilah.

Penulis: Fakhrullah, Santri Aktif Ponpes Syaichona Moh Cholil Bangkalan

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here