Oleh : Makki Nasir*
KOLOM – Sudah merupakan sunnatullah bila ada akibat setelah ada sebab, atau biasa disebut hukum kausalitas. Melihat fenomena aktivitas kelompok-kelompok Islam dan para da’inya di dunia, yang begitu antusias ingin menegakkan ajaran Islam, mungkin sebagian kaum muslimin bertanya, mengapa pertolongan Allah swt belum juga datang? Mengapa umat Islam kontemporer tidak dapat menguasai dunia sebagaimana para pendahulunya? Di manakah letak kesalahannya?
Jika kita simak ayat demi ayat dalam al-Qur’an, maka kita akan menemukan beberapa ayat di antaranya menyebutkan tugas & kewajiban kita sebagai hamba Allah swt di dunia ini. Di antara tugas & kewajiban tersebut adalah beribadah dan berdakwah (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56, Al-‘Ankabuut [29]: 56, An-Nahl [16]: 125, Ali ‘Imran [3]: 104, An-Nisa [4]: 1).
Di sisi lain, kita akan mendapatkan beberapa ayat menyebutkan janji-janji kebaikan dari Allah swt bagi hamba-hambanya yang telah melaksanakan tugas & kewajibannya, berupa pertolongan, kekuasaan dan keberkahan (QS. Ar-Ruum [30]: 47, An-Nuur [24]: 55, Al-Qashash [28]: 4-5, Ibrahim [14]: 13-14, Al-A’raaf [7]: 96)
Sebagai prototipe dalam masalah ini adalah kelompok terbaik umat Islam, yaitu para sahabat Rasulullah saw, yang dianugerahi pertolongan, kekuasaan dan keberkahan dari Allah swt. Mereka yang sebelumnya merupakan kelompok kecil yang tertindas di negeri Makkah, berhasil menguasai dunia dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Semua itu merupakan manifestasi dari janji-janji kebaikan Allah swt setelah mereka beribadah & berdakwah dengan penuh keikhlasan tanpa dibarengi oleh tujuan-tujuan materi-duniawi.
Pernahkah terlintas di pikiran para sahabat Rasulullah Saw untuk menjadi penguasa Jazirah Arab?! Pernahkah mereka berniat di balik ibadah dan dakwah mereka untuk menjadi penguasa dunia dan dapat meruntuhkan kekaisaran Romawi?! Adakah tujuan-tujuan materi-duniawi di balik dakwah mereka?! Tentu tidak. Namun semua itu dapat mereka raih.
Justeru mungkin jika di hati mereka terdapat tujuan-tujuan seperti disebut di atas, Allah swt tidak akan menganugerahi semua itu kepada mereka. Allah swt telah menganugerahi mereka kekuasaan dari jalan yang tak disangka-sangka. Mereka hanya terus beribadah dan berusaha berdakwah sekuat tenaga dengan berbagai rintangan dan cobaan lalu menyerahkan hasil dari semuanya kepada Allah swt (Tawakal), tanpa terbesit untuk menguasai dunia. Hasilnya mereka menjadi kelompok terbaik sepanjang sejarah, yang diakui kawan dan lawan.
Itulah para sahabat Rasululah saw. Berbeda fenomenanya dengan beberapa kelompok umat Islam kontemporer yang cenderung menginginkan yang instan dalam berdakwah. Mereka ingin mengambil jalan pintas dalam berdakwah, yaitu berusaha agar langsung menjadi penguasa, lalu dengan itu mereka bebas menerapkan hukum Islam sesuai keinginannya kepada para penduduknya (baca: Objek dakwah).
Mereka tidak mengikuti para sahabat Rasul saw yang mengambil jalan yang mungkin sulit namun menjanjikan keberhasilan yang nyata. Yaitu dakwah dengan penuh hikmah & santun. Perlahan namun pasti. Dakwah dengan cara mengajak bukan memaksa. Yaitu dengan metode dialog dan meyakinkan objek dakwah dengan evidensi-evidensi yang logis dan dapat diterima hati. Setelah mereka melakukan semua itu, lalu mereka serahkan hasilnya kepada Allah swt (Tawakal).
Mungkin kita pernah mendengar adanya beberapa kelompok Islam yang sangat berambisi untuk merubah undang-undang negaranya dengan ajaran Islam dengan cara-cara kurang santun yang jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan ada sebagian dari mereka yang ingin melakukan revolusi terhadap suatu Negara untuk memaksakan penerapan ajaran Islam pada Negara tersebut.
Kelompok-kelompok seperti inilah sebenarnya yang sedikit-banyak menghambat suksesnya dakwah Islam di dunia. Sebab fitrah seluruh manusia di dunia adalah tidak suka dipaksa. Padahal jika mereka konsentrasi penuh dengan sekuat tenaga dalam berdakwah dengan cara-cara yang dilakukan para sahabat Nabi SAW, tanpa berangan-angan menjadi penguasa, mungkin suatu saat nanti mereka tidak sadar jika mereka sudah menjadi penguasa dan undang-undang negaranya sudah sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dengan sendirinya tanpa proses paksa-memaksa.
Kelompok-kelompok tersebut akhirnya lebih banyak tersibukkan dengan urusan-urusan politik dan menjatuhkan lawan ketimbang tersibukkan dengan urusan dakwah. Padahal mungkin mereka tahu bahwa yang diperintahkan Allah swt adalah hanya berdakwah dengan penuh keikhlasan, bukan memaksakan objek dakwah untuk mendapatkan hidayah. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk (hidayah) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashash [28]: 56)
Dalam hal ini, penulis bukanlah termasuk orang yang tidak setuju dengan penerapan ajaran Islam pada suatu Negara. Penulis adalah orang yang sangat setuju dan mengharapkan ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan oleh setiap Negara di dunia, agar dunia ini penuh dengan kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian. Sebab Islam adalah agama fitrah. Menurut Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Buthi, hubungan agama Islam dengan dunia ini adalah ibarat buku panduan cara pakai barang elektronik dengan barang tersebut. Kita semua tahu, jika kita menggunakan barang elektronik tanpa memperhatikan buku cara pakainya maka yang terjadi adalah rusaknya barang tersebut. Begitu juga dunia jika tanpa ajaran-ajaran Islam.
Namun, di samping kesetujuan penulis akan penerapan hukum-hukum Islam tersebut, penulis menyayangkan cara-cara yang kurang baik dalam menerapkannya. Penulis kurang setuju jika cara yang digunakan dalam penerapannya berawal dari atas menuju ke bawah, yaitu dengan cara memaksakan hukum-hukum Islam dengan membuatnya undang-undang Negara, lalu mewajibkan kepada seluruh masyarakat yang mungkin belum siap menerima kewajiban menjalankan undang-undang tersebut.
Penulis lebih setuju jika penerapannya berawal dari bawah –mulai dari kalangan proletar– dan bergerak menuju ke atas. Hal itu dengan menerapkan kesadaran untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh lapisan masyarakat. Berawal dari kesadaran menuju undang-undang, bukan sebaliknya. Sehingga, jika kesadaran sudah timbul, maka walaupun undang-undang Islami belum terbentuk nantinya, masyarakat Islami sudah tercipta. Di sinilah peran dakwah para da’i dibutuhkan.
Mungkin cara ini membutuhkan waktu yang cukup lama serta tenaga dan pikiran yang cukup terkuras, namun tentu hasilnyapun akan abadi dan memuaskan. Berbeda dengan dakwah instan dengan cara paksaan yang disebut di atas tadi. Penulis cukup pesimis akan kelanggengan undang-undang Islam tersebut, jika diterapkan dengan paksaan. Sebab diawali dengan cara yang keluar dari fitrah, yaitu memaksakan kehendak orang, bukan mengajak. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (*)
*Penulis Adalah Ketua Umum PCNU Bangkalan
Comment here