Kajian

Bagaimana Cara Mengimani Hal-Hal Gaib dalam Al-Qur’an dan Hadis?

Ilustrasi dibuat AI Bing

Celetuk salah seorang audien saat saya mengisi materi kajian akidah di forum Aswaja Center Nurul Cholil. Terkesan pertanyaan ringan. Tapi akan menjadi rumit jika yang dimaksud adalah bukti bahwa hal gaib tidak hanya sebatas doktrin atau dogma belaka. Melainkan berdasarkan metode ilmiah yang dapat dibenarkan oleh akal.

Untuk sampai pada keimanan yang ‘sahih’, seseorang tidak bisa hanya menelan mentah-mentah informasi Al-Qur’an atau Hadis seputar perkara gaib, tapi perlu bukti dan burhan supaya keimanan benar-benar selaras dengan realita dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Benar, kajian perkara gaib (magibat/gaybiyyat) ini bukan wilayah akal. Tidak ada sedikitpun peluang akal untuk mengilustrasikan hal gaib, apalagi menentukan benar tidaknya. Sehingga kita tidak boleh sembarang mengimani seputar hal-hal gaib atau mistis kecuali diinformasikan Hadis Mutawatir atau Al-Qur’an (Al-Khabar as-Shadiq).

Hanya saja, hal ini berlaku bagi mereka yang memang mempercayai adanya Tuhan dan Nabi yang menyampaikan kedua sumber tersebut beserta sifat-sifatnya (al-Haqa’iq al-‘Adzimah) disertai argumentasi rasional yang kokoh (dalil aqliy al-Qathi’). Sedangkan, bagi dia yang hanya taqlid; beriman tanpa dalil, apalagi ateis yang tidak beriman sama sekali pada Tuhan dan Nabi, maka ia harus menempuh jalur akal terlebih dahulu.

Dia harus bisa menjawab dengan argumentasi, “apa bukti adanya Tuhan?”, “Apa bukti Tuhan memiliki sifat ilmu begitupun sifat-sifat yang lain?”, “apa bukti bahwa Muhammad adalah Nabi?”, “apa bukti bahwa informasi dan apa pun yang disampaikan Nabi itu pasti benar?”, “apa bukti bahwa informasi Al-Qur’an itu benar?”, dan “apa bukti bahwa informasi hadits itu juga benar?”.

Dua pertanyaan terakhir ini menentukan benar atau tidaknya validitas kebenaran hal-hal gaib. Sebab, hanya dua sumber inilah yang berisikan informasi hal-hal gaib yang wajib diimani. Sedangkan keimanan terhadap dua sumber ini tergantung pada keimanan kita terhadap Tuhan dan Nabi sebagai utusan-Nya.

Dan mengimani Tuhan, kata Syekh Buthī, hanya dapat ditempuh bagi ia yang menggunakan akal sehatnya.

Alhasil, ia yang hanya taqlid belaka; belum mencapai keyakinan ilmiah dengan argumentatif, sangat sulit beriman secara sahih terhadap hal-hal gaib. kalaupun beriman, pasti akan sangat rapuh tatkala dihadapkan dengan pengalaman yang terkesan bertentangan dengan keyakinannya. Karena murni hanya ikut-ikutan.

Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buthi, di dalam Qubra al-Yaqiniyyat, memberikan beberapa ilustrasi terkait hal ini. Salah satunya, seorang dokter mahir memberikan informasi pada Anda bahwa air di cangkir telah terkontaminasi kuman yang sangat membahayakan nyawa. Kira-kira Anda percaya atau tidak? Jika Anda punya akal, tentu akan percaya.

Jika ada yang bertanya, “apa bukti bahwa air di cangkir tersebut berbahaya?” Jawabannya terangkai dari dua argumentasi.

Pertama, kamu yakin bahwa pemberi informasi adalah orang yang memang mahir dan spesialis dalam bidangnya dan mengetahui seluk-beluk ilmu kedokteran, yakni seorang dokter jujur.

Kedua, kamu yakin bahwa informasi yang disampaikan adalah informasi resmi meyakinkan yang tidak dapat ditolak. Sebab datang dari spesialisnya.

Kedua argumentasi ini, lanjut Syekh Buthi, tentu menghasilkan konklusi bahwa informasi di atas itu benar dan meyakinkan. Meskipun belum terbukti secara praktis bahwa air tersebut membahayakan.

Begitu juga keyakinan kita akan hal-hal gaib yang diinformasikan Nabi, baik dalam Al-Qur’an atau Hadits. Kita tidak akan bisa mengimani secara sahih, jika pertama, belum bisa membuktikan kebenaran adanya Tuhan dengan argumentasi, kedua, belum bisa membuktikan bahwa Muhammad adalah Nabi serta apapun yang disampaikannya dari Tuhan itu pasti benar.

Sebab, mustahil kita percaya pada informasi baru yang tidak pernah disampaikan oleh siapapun sebelumnya (gaib) kecuali kita betul-betul percaya bahwa penyampai informasi tersebut adalah orang yang memang terkenal dengan kejujurannya dan kemahirannya dalam hal-hal yang ia informasikan.

Saya uraikan satu contoh. Hadis Jibril yang masyhur menjelaskan seputar iman pada malaikat. Jika ditanyakan, apa bukti adanya malaikat? Jawabannya, malaikat ada karena diinformasikan oleh Nabi. Informasi dari Nabi pasti benar karena dari Tuhan. Informasi dari Tuhan pasti benar karena Dia memiliki sifat ilmu pasti al-Muthabiq lilwaqi’ (sesuai dengan kenyataan), sebab kalau tidak sesuai kenyataan berarti bukan ilmu, melainkan bodoh (jahlun). Dan itu mustahil bagi Tuhan.

Dan kalau sesuai kenyataan maka informasi adanya malaikat ‘berdasarkan ilmu’ pasti benar. Sekian, Wallahu A’lam.

Artikel ini hanya sebatas pengantar. Untuk uraian secara rinci, insyaallah akan saya tulis di lain kesempatan, atau bagi santri bisa langsung menghadiri rutinitas kajian Aswaja setiap Minggu.

Artikel juga pernah dimuat di Majalah Al-asror.

Referensi: Qubra al-Yaqiniyyat, Syarh al-Aqidah al-Qubra, Syarh Shugra as-Shugra, dll.

Penulis: Ahmad Hamidi/Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil Bangkalan

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here