KajianKolom

Apakah Kotoran di bawah Kuku Mempengaruhi Status Wudhu?

Apakah Kotoran di bawah Kuku Mempengaruhi Status Wudhu?

nubangkalan.co.id – Ketika ingin berwudhu dan ada kotoran di bawah kuku, maka bagaimana ulama menghukuminya? Dalam hukum ini ulama berbeda pendapat dalam masalah keabsahan wudhunya.

Sebagian mengatakan wudhunya tidak sah dengan alasan ada sesuatu yang menghalangi air untuk menyentuh kulit anggota wudhu. Ada juga yang mengatakan bahwa wudhunya sah karena hal itu dianggap sulit untuk dihilangkan sehingga ditoleransi.

Landasan dasar kedua pendapat tersebut bisa kita baca dalam kitab I’ānatut Thālibīn karya Syekh Abu Bakar Syatha berikut:

(و) رابعها: (أن لا يكون على العضو حائل) -إلى أن قال- وكذا يشترط – على ما جزم به كثيرون – أن لا يكون وسخ تحت ظفر يمنع وصول الماء لما تحته،

 خلافا لجمع منهم الغزالي والزركشي وغيرهما، وأطالوا في ترجيحه وصرحوا بالمسامحة عما تحتها من الوسخ دون نحو العجين. )البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,1/46(

Artinya: “Syarat sah wudhu yang keempat adalah tidak boleh ada penghalang antara air dan anggota wudhu … Begitu juga disyaratkan—sebagaimana yang telah ditetapkan oleh mayoritas ulama—bahwa tidak boleh ada kotoran di bawah kuku yang menyebabkan terhalangnya air terhadap kulit di bawahnya.

“Pendapat ini berbeda dengan sebagian ulama, seperti Imam Ghazali, Imam Zarkasyi, dan lainnya. Mereka menjelaskan dengan panjang-lebar dalam mentarjih pendapat tersebut dan menjelaskan bahwa kotoran di bawah kuku itu di toleransi selain adonan.”

Namun demikian, Imam Adru’ī dan imam lainnya, mengisyaratkan bahwa pendapat yang menyatakan ditoleransi tersebut merupakan pendapat lemah. Berikut redaksinya:

وأشار الاذرعي وغيره إلى ضعف مقالتهم. وقد صرح في التتمة وغيرها، بما في الروضة وغيرها، من عدم المسامحة بشئ مما تحتها حيث منع وصول الماء بمحله. وأفتى البغوي في وسخ حصل من غبار بأنه يمنع صحة الوضوء، بخلاف ما نشأ من بدنه وهو العرق المتجمد.

Artinya: “Imam Adzru’ī dan Imam yang lain memberikan isyarah akan lemahnya pendapat tersebut (pendapat Imam Ghazali, Imam Zarkasyi dll.), dijelaskan dalam kitab Tatimmah serta kitab yang lain bahwa kotoran yang ada di bawah kuku jika mencegah sampainya air ke kulit itu tidak ditoleransi. Imam Baghowi berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu membuat wudhu tidak sah, beda halnya dengan kotoran yang ditimbulkan oleh badan sendiri maka wudhunya tetap sah seperti keringat yang mengeras.”

Selain itu, senada dengan ini, yaitu redaksi dari Imam Nawawi dalam kitab Majmū‘ Syarhul Muhaddzab berikut:

وَلَوْ كَانَ تَحْتَ الْأَظْفَارِ وَسَخٌ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ وُصُولَ الْمَاءِ إلَى مَا تَحْتَهُ لِقِلَّتِهِ صَحَّ الْوُضُوءُ وَإِنْ مَنَعَ فَقَطَعَ الْمُتَوَلِّي بِأَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ وَلَا يَرْتَفِعُ حَدَثُهُ: كَمَا لَوْ كَانَ الْوَسَخُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ الْبَدَنِ

 وَقَطَعَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ بِالْإِجْزَاءِ وَصِحَّةِ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وانه يُعْفَى عَنْهُ لِلْحَاجَةِ: قَالَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُهُمْ بِتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَيُنْكِرُ مَا تَحْتَهَا مِنْ وَسَخٍ وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِإِعَادَةِ الصَّلَاةِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ) النووي، المجموع شرح المهذب، ٢٨٧/١(

Artinya: Apabila di bawah kuku terdapat kotoran dan tidak sampai mencegah sampainya air pada kulit di bawah kuku, misal karena kotorannya sedikit, maka sah wudhunya. Namun, apabila kotoran tersebut sampai mencegah air ke kulit di bawah kuku, maka Imam Mutawalli menegaskan bahwa wudhunya tidak dianggap cukup dan hadasnya tidak terangkat, sebagaimana kotoran yang berada di area tubuh yang lain.

“Akan tetapi, Imam Ghazali menegaskan dalam kitab Ihya’-nya bahwa hal itu (kotoran tersebut sampai mencegah air ke kulit di bawah kuku) dianggap cukup dan wudhunya atau mandinya sah karena hal itu dima’fu sebab hajat, beliau mengatakan karena Nabi memerintahkan para sahabat untuk memotong kuku dan mengingkari kotoran di bawah kuku akan tetapi Rasulullah Saw. tidak memerintahkan untuk mengulang shalatnya.”

Kesimpulannya bahwa kotoran yang ada di bawah kuku menurut mayoritas ulama jika kotoran tersebut menghalangi sampainya air maka tidak sah wudhunya. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, seperti Imam Ghazali dan Imam Zarkasyi, wudhunya tetap sah, tapi ada ulama yang mensyaratkan kotoran di bawah kuku harus yang bersal dari badannya sendiri jika ingin tetap sah wudhunya dan secara umum sulit dihindari.

Referensi:

– Imam Nawawi, Majmū‘ Syarhul Muhaddzab, Maktabah Syamilah; dan

– Syekh Abu Bakar Syathā, I’ānatut Thālibīn, Maktabah Syamilah.

Penulis: Fakhrullah, Santri Aktif Ponpes Syaichona Moh Cholil Bangkalan

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here