nubangkalan.or.id – Ketika seorang laki-laki mencintai wanita, di hatinya timbul perasaan ingin memilikinya. Tentunya jika dia laki-laki sejati dan paham agama, rasa ingin memiliki tersebut diungkapan dengan cara yang halal menurut syariat. Bukan mengajak pacaran yang ujung-ujungnya berakhir di tengah jalan, bahkan sampai merusak kehormatan wanita.
Berkaitan dengan mengungkapkan rasa cinta, rasa ingin memiliki yang benar menurut syariat adalah dengan cara khitbah atau memberi kepastian ingin menikahi si wanita. Hal ini disampaikan oleh Syekh Wahbab az-Zuhaili dalam kitabnya:
الخطبة: هي إظهار الرغبة في الزواج بامرأة معينة، وإعلام المرأة وليها بذلك. وقد يتم هذا الإعلام مباشرة من الخاطب، أو بواسطة أهله. فإن وافقت المخطوبة أو أهلها، فقد تمت الخطبة بينهما.
Artinya: “Khitbah adalah mengungkapkan rasa cinta kepada perempuan tertentu untuk dijadikan istri, dan perempuan memberitahukan hal itu kepada walinya. Pemberitahuan ini langsung diungkapkan oleh pelamar atau melalui pelantara keluarganya. Apabila perempuan yang dilamar atau keluarganya setuju, maka terjadilah khitbah di antara keduanya.” (Fiqhul Islāmī wa Adillatuhu, juz 9, halaman 6492).
Namun, yang membuat ciut nyali seorang laki-laki adalah ketika dirinya seorang pengagguran, yang notabenenya tidak mampu terhadap biaya nikah dan setelah nikah justru dibikin ruwet dengan biaya kehidupan sehari-hari.
Hukum nikah itu sendiri sunah. Hukum sunah ini mengena kepada orang yang ingin menikah dan mampu terhadap biaya nikah seperti mahar dan nafkah sang istri. Sedangkan yang tidak punya biaya tapi pengen nikah, maka nikah tidak disunahkan baginya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi dalam kitab Fathul Qarīb:
(والنكاح مستحب لمن يحتاج إليه) بتوقان نفسه للوطء، ويجد أهبته كمهر ونفقة؛ فإن فقد الأهبة لم يستحب له النكاح.
Artinya: “Nikah hukumnya sunah bagi orang yang sangat ingin bersenggama dan punya biaya, seperti mahar dan nafkah. Apabila tidak punya biaya, maka tidak disunahkan menikah.” (Fathul Qarīb, halaman 131).
Di dalam al-Qur’an juga disebutkan bahwa yang belum mampu atau tidak punya biaya nikah, ia harus menjaga dirinya dan menunggu sampai Allah memberinya anugerah-Nya, artinya punya biaya nikah:
وَلۡیَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِینَ لَا یَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ یُغۡنِیَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
Artinya: “Orang yang tidak mampu menikah sebaiknya menjaga diri sampai Allah memberi kemudahan baginya dengan anugerah-Nya.” (QS. An-Nur [24]: 33)
Ketika syahwatnya tidak terbendung, sedangkan dirinya tidak disunahkan menikah bahkan menurut Imam Nawawi kalau sampai menikah hukumnya makruh. Beliau berkata:
وقسم تتوق ولا يجد المؤن فيكره له وهذا مأمور بالصوم لدفع التوقان
Artinya: “Orang yang ingin menikah tapi tidak punya biaya, maka dimakruhkan menikah. Dia diperintah berpuasa untuk menekan syahwatnya.” (Syarhun Nawawī ‘alā Muslim, juz 9, halaman 174).
Maka solusinya adalah ia melaksanakan puasa untuk menekan syahwatnya. Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Zakariya al-Anshari:
(والعاجز) عن مؤنه (يصوم) أي الأفضل له أن يترك النكاح ويكسر شهوته بالصوم للخبر السابق
Artinya: “Orang yang tidak punya biaya, maka yang paling afdal baginya adalah tidak menikah dan menekan syahwatnya dengan puasa, sebagaimana hadis di muka.” (Asnal Mathālib, juz 3, halaman 107).
Imam Muhammad bin Ahmad al-Mahalli juga menyampaikan:
(فإن فقدها استحب تركه ويكسر شهوته بالصوم) إرشادا قال – صلى الله عليه وسلم – مما رواه الشيخان : «يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ، فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ» ، أَيْ دَافِعٌ لِشَهْوَتِهِ،
Artinya: “Jika tidak punya biaya nikah, sunah tidak menikah dan menekan syahwatnya dengan berpuasa, karena irsyad (anjuran). Nabi Muhammad ﷺ bersabda: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa mampu biaya nikah, maka menikahlah, karena nikah bisa menundukkan pandangan dan menjaga farji. Barang siapa tidak punya biaya, maka harus baginya puasa, karena puasa bisa mencegah syahwat.” (Al-Mahallī, halaman 417).
Menurut Syekh Zakariya al-Anshari, alasan di balik perintah puasa karena syahwat nikah itu satu paket dengan syahwat atau sifat rakus yang melekat di perut.
وإنما أمره به لما فيه من كسر الشهوة فإن شهوة النكاح تابعة لشهوة الأكل تقوى بقوتها وتضعف بضعها
Artinya: “Puasa itu diperintahkan untuk memecah syahwat, karena syahwat nikah itu mengikuti syahwat perut, kuat dan lemahnya syahwat nikah tergantung kuat-lemahnya syahwat perut.” (Fathul ‘Allām bi Syarhi al-I’lām, halaman 511).
Hanya saja, menurut Syekh Nawawi Banten ketika puasa syahwat tidak kunjung reda, maka jalan terakhirnya adalah menikah. Beliau berkata:
فإن لم تنكسر بالصوم يتزوج ويتوكل على الله فإن الله تكفل بالرزق للمتزوج بقصد العفاف
Artinya: “Jika syahwat tidak mereda dengan puasa, maka menikahlan dan tawakal kepada Allah. Sebab, Allah menanggung rizki orang yang menikah dengan tujuan menjaga diri.” (Tausyeh, halaman 195).
Ada juga satu riwayat sahih manurut Ibnu Hajar al-Haitami yang menyebutkan:
تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَكُمْ بِالْمَالِ
Artinya: “Nikahilah perempuan, karena mereka datang dengan membawa harta (rizki).” (Tuhfathu al-Muhtāj, juz 8, halaman 185).
Walhasil, bagi siapa saja yang sudah kebelet nikah, segeralah menikah jika sudah siap secara mental dan finansial. Jika mental siap, tapi finansial tidak, cobalah tahan terlebih dahulu dengan berpuasa. Baru jika memang sangat kebelet, nikahlah walaupun dengan finansial seadanya, dan pasrahkan urusan rizki kepada Sang Maha Pemberi rizki.
Penulis: Abdurrohman Wahid, santri asal Kombangan, pengurus media cetak PP. Syaichona Moh. Cholil Bangkalan
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan
Comment here