KajianKolom

Benarkah Akidah Islam Tidak Ilmiah?

Ilustrasi: Benarkah Akidah Islam Tidak Ilmiah? (Sumber: ChatGPT)

nubangkalan.co.id – Para Saintis, kaum Empiris dan Materialis beranggapan bahwa klaim-klaim keagamaan dalam Islam, khususnya teologi, itu tidak bersifat ilmiah. Hanya klaim sepihak dan tidak lebih dari sekedar keimanan kaum Monoteis dan Fundamentalis belaka. Tidak ada kebenaran mutlak yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam agama. Sehingga menurut mereka, kajian ilmiah itu harus dipisah dari keimanan kaum agamis. Kajian dan penelitian ilmiah tidak boleh dilatarbelakangi oleh motif keimanan.

Sayanganya, paham ini bukan hanya diyakini oleh orang-orang Barat dan Ateis, tapi juga telah menyebar dan diyakini para sarjana dan cendekiawan Indonesia. Khususnya para Liberalis dan Orientalis yang dangkal pemahaman tentang agama. 

Paham yang mereka anut ini dilatarbelakangi oleh sempitnya pemahaman mereka atas arti ‘ilmiah’ itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa ilmu itu hanya dapat diperoleh dari satu sember. Tidak lebih. Yaitu panca indra (al-Hawās as-Salīmah). Setiap klaim yang tidak didasarkan dan tidak dapat dibuktikan oleh panca indra, maka tidak dapat dikatakan ilmu. Sehingga keimanan pada Tuhan beserta atribut-atribut-Nya, begitupun hal-hal gaib versi Islam, yang tidak bersumber dari panca indra, itu bukan ilmu, tidak ilmiah dan bersifat subjektif; bisa jadi benar, bisa juga salah.

Padahal, faktanya, tidak bisa dipungkiri, bahwa sumber pengatahuan itu tidak hanya terbatas pada panca indra semata. Ada sumber lain dalam kehidupan ini yang juga dapat mengantarkan pada pengetahuan. Dan hal ini telah final dibahas oleh para ilmuwan raksasa muslim kontemporer dan cendekiawan muslim tradisional ratusan tahun silam. Bahwa, klaim ke-ilmiah-an akidah Islam itu adalah fakta dan berdasarkan metode keilmuan yang sahih. Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (w. 2013 M.), dalam Kubrā al-Yaqīniyyāt Al-Kauniyyah mengatakan:

وجود الله عز وجل دعوى علمية تتعلق من العلم بجانب لا يخضع للتجربة والمشاهدة.

Artinya: “Eksistensi wujud Allah adalah klaim ilmiah yang berhubungan dengan aspek ilmu pengetahuan yang tidak tunduk pada pengalaman indrawi dan empiris.”

Klaim keberadaan Tuhan itu ilmiah. Hanya saja memang tidak dapat dibuktikan dengan pengetahuan empirik dan tidak terkonfirmasi oleh indra.

Grand Syekh al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Tayeb, dalam Maqūmāh Al-Islām, menegaskan:

ويفهم من قوله تعالى: )فَاعْلَمْ اَنَّه لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ [محمد: ١٩](، أن العقيدة هي العلم وأنهما متساويان في المفهوم، وهذا ما نجده فعلا عند علماء العقيدة حين يذهبون إلى أن الاعتقاد والعلم والمعرفة كل ذلك بمعنى واحد. ويعرفون العلم بأنه الإعتقاد الجازم المطابق للواقع الناشئ عن دليل.

Artinya: “Dapat dipahami dari Firman Allah Ta’ala, (Ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) Q.S. Muhammad [47]: 19), bahwa akidah itu adalah ilmu itu sendiri, dan bahwa keduanya sama dalam mafhumnya. Dan inilah yang kami jumpai pada Ulama Teologi, tatkala mereka berpendapat bahwa, iktiqad, ilmu, dan makrifah itu satu makna. Mereka mendefinisikan ilmu sebagai keyakinan yang bersifat pasti, yang sesuai dengan fakta, yang terlahir dari sebuah dalil argumetasi.

Akidah bukan hal berbeda dari ilmu. Akidah dan ilmu itu sama dalam mafhum dan maknanya. Sebagaimana Ilmu, akidah tidak dapat dikatakan ilmu, jika tidak memenuhi tiga aspek, yakni 1) berupa keyakinan yang bersifat pasti; 2) sesuai fakta dan realita; dan 3) bersumber dari sebuah argumentasi yang tidak terbantahkan.

Dalam Islam, tidak ada istilah iman tanpa ilmu. Keimanan harus didasarkan pada ilmu. Bukan hanya sebatas penerimaan belaka. Bukan hanya sebatas kefanatikan buta pada ajaran tertentu. Bukan hanya keyakinan semata. Akan tetapi, harus berlandaskan keilmuan dan bukti. Inilah yang membedakan Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran mutlak hanya ada di Islam. Tidak ada pada ajaran agama manapun.

Bahkan, seluruh keilmuan dalam Islam itu hanyalah bagian dan cabang dari ilmu kalam/akidah itu sendiri. Jika para Materialis beranggapan ilmu kalam tidak ilmiah, maka konsekuensinya, seluruh keilmuan dan ajaran dalam Islam juga tidak ilmiah. Perhatikan ungkapan Hujjatul Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), yang menstatuskan ilmu akidah/kalam itu sebagai suatu ‘ilmu’, dalam Al-Mustashfā Min Ilm Al-Ushūl, berikut:

فَالْعِلْمُ الْكُلِّيُّ من الْعُلُومِ الدِّينِيَّةِ هُوَ الْكَلَامُ وَسَائِرُ الْعُلُومِ مِنْ الْفِقْهِ وَأُصُولِهِ وَالْحَدِيثِ وَالتَّفْسِيرِ عُلُومٌ جُزْئِيَّةٌ، لِأَنَّ الْمُفَسِّرَ لَا يَنْظُرُ إلَّا فِي مَعْنَى الْكِتَابِ خَاصَّةً وَالْمُحَدِّثُ لَا يَنْظُرُ إلَّا فِي طَرِيقِ ثُبُوتِ الْحَدِيثِ خَاصَّةً، وَالْفَقِيهُ لَا يَنْظُرُ إلَّا فِي أَحْكَامِ أَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ خَاصَّةً، وَالْأُصُولِيُّ لَا يَنْظُر إلَّا فِي أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ خَاصَّةً وَالْمُتَكَلِّمُ هُوَ الَّذِي يَنْظُرُ فِي أَعَمِّ الْأَشْيَاءِ وَهُوَ الْمَوْجُودُ.

Artinya: “Ilmu universal (fondasi) dari keilmuan-keilmuan dalam agama itu adalah ilmu kalam/teologi. Dan ilmu-ilmu yang lain, berupa fikih, ushul fikih, hadis dan tafsif, itu semua ilmu-ilmu partikular (cabang). Karena Ahli tafsir hanya menganalisa dalam makna al-Qur`an saja. Ahli hadis hanya menganalisa metode penetapan validitas hadis saja. Ahli fikih hanya mengalisa hukum setiap perilaku mukallaf saja. Ahli ushul fikih hanya menganalisa dalil-dalil hukum syar’i saja. Sedangkan seorang Teolog, ia mengkaji dan menganalisa segala hal yang wujud di semesta secara universal.”

Para ilmuwan Muslim di atas, telah mengklaim dan menegaskan bahwa keilmuan dalam Islam, khususnya akidah, itu bersifat ilmiah dan benar-benar berupa ‘ilmu’. Bukan hanya sebatas keimanan dan kepercayaan semata.

Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan

Pertanyaan besarnya, apa yang melatarbelakangi para cendekaiawan Islam dalam klaim ke-ilmiah-an akidah? Jawabannya, karena sumber ilmu pengetahuan tidak terbatas hanya pada panca indra semata. Akan tetapi, ada sumber lain yang dapat mengantarkan pada sebuah ilmu. Sehingga klaim yang didasarkan pada salah satu sumber itu juga disebut sebagai ilmu dan bersifat ilmiah.

Bahkan, banyak keilmuan internasional yang tidak bersumber dari indra, tapi bersumber dari yang lain, seperti matematika dan beberapa ilmu kedokteran yang bersumber dari rasio. Matematikawan tidak harus melihat penggabungan seratus ekor kambing dari sepuluh kandang yang masing-masing berisi sepuluh ekor untuk mengetahui hasil dari perkalian sepuluh kali sepuluh. Dokter tidak harus melihat seluruh jenis covid untuk mengetahui kebahayaan seluruh jenis covid. Ia hanya perlu mengobservasi beberapa jenis sampel covid untuk mewakili sampel yang lain. Tentu dalam hal ini berlaku klaim yang bersumber dari akal. Bukan hanya sebatas indra semata.

Dalam kitab Lawāqih al-Anwār as-Saniyyah wa Lawāqih al-Afkār as-Saniyyah, Syekh Muhammad as-Safāraini (w. 1188 H.) mengklasifikasi sumber pengetahuan menjadi tiga:

أنه مما ينبغي أن يعلم أن أسباب العلم ثلاثة:

إحداها: الحواس السليمة، وهي السمع والبصر والشم والذوق واللمس. فكل حاسة منها -يُوقف- بمعنى يطلع على ما وضحت هي له- كالسمع للأصوات والبصر للمبصرات والذوق للمطعوم والشم للروائح واللمس للملموسات من حرارة وبرودة ورطوبة ويبوسة ونحو ذلك.

الثاني: الخبر الصادق من الكتاب المنزل والأحاديث عن النبي المرسل فإن معظم المعلومات الدينية مستفادة من الخبر الصادق.

الثالث: العقل لحكم الإستقراء.

Artinya: “Termasuk yang seharusnya diketahui, bahwa sebab (sumber-sumber) ilmu penegetahuan itu ada tiga:

“Pertama, panca indra yang normal (al-Hawās as-Salīmah). Yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Masing-masing indra tersebut diperuntkkan untuk setiap makna yang karenanya sesuatu menjadi jelas. Seperti pendengaran untuk suara, penglihatan untuk benda kasat mata, pengecapan untuk makanan, penciuman untuk aroma, dan perabaan untuk hal-hal yang nyata, berupa panas, dingin, lembab, kering, dan sebagainya.

“Kedua, berita yag benar (al-Khabar as-Shādiq) dari al-Qur`an yang diturunkan dan hadis-hadis nabi yang diutus. Mayoritas informasi keagamaan bersumber dari berita yang benar ini.

Ketiga, rasio (al-Aqlu) untuk klaim penelitian.”

Nah, akidah, seperti keyakinan terhadap keberadaan Tuhan beserta atribut-atribut-Nya, adalah sebuah ‘ilmu’ dan klaim ilmiah. Karena semua itu bersumber dari rasio (al-Aqlu) dan iformasi yang benar (al-Khabar as-Shādiq) berupa al-Qur`an dan Hadis. Meskipun tidak dapat dibuktikan dengan indrawi.

Panca indra itu hanya salah satu sumber ilmu. Bukan satu-satunya. Hal-hal yang tidak dapat dibuktikan dengan indra itu belum tentu tidak ada. Bisa saja keberadaannya dibuktikan melalui akal sehat. Indra sangat terbatas, ia hanya terbatas pada benda materi yang bersifat fisik. Namun, selamanya ia tidak akan bisa mengkonfirmasi hal-hal metafisik, seperti ‘keberakalan’ itu sendiri.

Saya yakin, bahwa kaum Materialis sendiri percaya bahwa mereka berakal. Namun, mereka tidak akan pernah bisa membuktikan keberakalan itu sendiri dengan indra. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada mereka, ‘Buktikan di mana akal Anda jika Anda punya akal?’ Sampai kapan pun mereka tidak akan dapat menjawabnya jika mereka masih bersikukuh membatasi keilmuan pada panca indra semata.

Ini mengapa, mayoritas Teolog Muslim mendasarkan kajian akidah pada argumentasi rasio akal. Seperti klaim keberadaan Tuhan dan ke-Rasul-an para utusan. Karena semua itu bersifat metafisik, sehinggat tidak dapat dibuktikan dengan indra. Namun, bisa dibuktikan dengan akal.

Sejauh ini mungkin pembaca akan bertanya-tanya, apa bukti bahwa al-Qur`an itu benar dan bahwa nabi adalah utusan Tuhan, sehingga semua informasi yang dibawanya itu pasti benar dan ilmiah? Mungkin, inyaallah kita akan menulisnya pada kesempatan berikutnya.

Penulis: Ahmad Hamidi, Pengajar dan Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here