Isu ekstremisme kian menyebar di kalangan masyarakat. Sikap ketidaktoleransian terhadap perbedaan merupakan pangkal dari benih-benih terjadinya kekerasan dan kekacauan. Sayangnya, isu ini tidak hanya memberikan radiasi terhadap konflik beragama saja, namun juga menularkan masalah lain, seperti halnya yang terjadi kepada perempuan. Mereka harus mendapati dampak buruk, misalnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan domestik dan seksual, pembatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Selain itu, perempuan juga menjadi target karena identitas dan keyakinan, misalnya pada kasus kekerasan terhadap minoritas gender atau orientasi seksual. Posisi perempuan turut menjadi terkucilkan dari proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, yang mana dapat menghambat peran dalam pembangunan perdamaian dan pemberdayaan ekonomi. Dengan ini, ekstremisme dapat memperkuat strereotip gender dan norma tidak adil, yang menyebabkan perempuan diperlakukan sebagai objek, dan menghambat mereka dalam mencapai potensi yang maksimal.
Kita bisa mengambil contoh dengan melihat kondisi perempuan di berbagai negara, seperti yang terjadi di Afganishtan. Perempuan boleh ke pasar (untuk membeli keperluan rumah) dengan harus didampingi anggota keluarga laki-laki, mereka tidak boleh nongkrong, ketika berusia di atas 12 tahun dilarang berhubungan dengan laki-laki, boleh melanjutkan pendidikan, tapi dibatasi tempat, tidak boleh menggunakan riasan, dan wajib menggunakan jilbab.
Aturan-aturan ini sangat mengikat dan membatasi ruang gerak perempuan dalam apa pun. Seakan mereka adalah hewan peliharaan yang bisa diatur dan dikurung.Begitupun yang terjadi di Suriah. Melalui penyaluran bantuan atas nama PBB dan lembaga bantuan internasional, para lelaki pengantar meminta imbalan dengan layanan seksual. Mereka menukarkan barang-barang seperti bahan makanan dan minuman dengan melakukan kekerasan seksual pada perempuan. Yang menjadi korban tidak hanya para perempuan tanpa wali saja, namun juga para gadis dan janda turut mengalami hal serupa.
Sebab inilah akhirnya para perempuan enggan menerima bantuan secara langsung karena takut akan dilecehkan. Bahkan, mereka sampai membangun sebuah desa yang dikhususkan bagi perempuan, dan kaum laki-laki dilarang untuk memasukinya.
Masih banyak kisah-kisah buruk lainnya terkait paham ekstrimisme. Tentu ini menjadi sebuah pelajaran bahwa jika paham-paham semacam ini terus dibiarkan maka lambat laun posisi perempuan akan terus terpinggirkan. Patriarki akan semakin mengobarkan api, dan sikap-sikap misoginis akan menjalar ke seluruh pemahaman publik. Sehingga perjuangan para perempuan sebelumnya untuk mengeluarkan kaumnya dari kecaman masyarakat, kungkungan dan tuntutan, akan berakhir sia-sia. Sebab, perempuan yang sudah terdoktrin ekstremisme akan melawan makna perjuangan perempuan yang digaungkan, dan memilih menjadi sosok yang sesuai dengan ajaran agama yang diberikan.
Di sisi lain, perempuan pun banyak tidak sadar bahwa dirinya juga menjadi korban akan kerentanan ini. Merasa bahwa apa yang telah dianutnya benar, walaupun menyakitkan, dianggap oleh mereka sebagai sebuah pembenaran bahwa dengan jalan itulah mereka akan mendapatkan pahala dan diberi jalan menuju surga Tuhan.
Selain itu, banyak di antara seperti yang kini banyak terjadi di media sosial, ketika para netizen banyak mengomentari gaya pakaian seseorang, apalagi jika mereka tidak menggunakan jilbab, atau pakaiannya terbuka. Di antaranya menggunakan dalil dan menasehati dengan dalih akhirat. Alissa Qatrunnada Wahid, sebagai koordinator nasional jaringan Gusdurian, menyatakan sikap seperti ini sudah disebut sebagai ekstremisme.
Lantas sebagai perempuan yang merupakan pihak paling rentang terpengaruh paham ekstremisme ini, mereka juga memiliki potensi untuk mencegah mengalirnya paham ekstremisme. Allisa Wahid, dalam diskusi pra-KUPI 2022, menyebutkan dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa perempuan sebagai ibu memiliki peran lebih dalam proses internalisasi nilai anak dalam keluarga, dalam hal ini yakni transmisi nilai.
Perempuan memiliki kekuatan dalam menanamkan nilai ketoleransian dan keberagaman pada keluarga sehingga dapat terjauhkan dari sikap berlebihan, khususnya dalam beragama.
Tak hanya dalam lingkup keluarga, pada kehidupan sosial perempuan juga memiliki hak dan peran sebagai sumber daya pembangunan. Sebagai mitra laki-laki, perempuan daapat saling melengkapi dalam melaksanakan pembangunan masyarakat, dan juga berkecimpung sebagai aktor perdamaian.
Perempuan yang seringkali dijadikan objek korban paham ekstremisme memiliki sensitivitas tinggi dalam melihat potensi perpecahan. Mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab secara sosial maupun ekonomi dalam keluarga dan komunitas. Dengan ini, penting bagi perempuan untuk terus dilibatkan dalam setiap pembangunan perdamaian, termasuk negosiasi dan implementasi.
Penulis: Anis Fitria, Waka 1 PAC IPPNU Konang
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here