Dewasa ini, ulama yang terjun di dunia politik kerapkali dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, ada yang berkomentar, “Kalau sudah berpolitik hilang sudah identitas ke-ulama-annya”. Ada juga yang berkomentar, “Kasian santri-santrinya tidak terurus kalau sudah berpolitik”. Dan bahkan ada yang lebih pedas lagi berkomentar, “Ulama sekali pun kalau sudah ikut politik sudah pasti makan uang haram (hasil korupsi)”.
Mari kita melihat lagi di masa lampau, apakah dalam sejarah masa lalu tidak pernah ada Ulama yang terlibat dalam dunia politik?
Kita mulai dari sejarah awal peradaban Islam dimulai. Ya, zaman mulia zamannya Baginda Agung Nabi Muhammad Saw., saat peletakan Hajar Aswad ke bagian dinding Kakbah, banyak kabilah Arab pada saat itu yang ingin menjadi peletak batu mulia tersebut, bahkan disebutkan hampir terjadi perang saudara akibat peristiwa itu.
Akhirnya, disepakati bahwa yang berhak meletakkan Hajar Aswad itu adalah orang yang pertama kali masuk ke dalam area Kakbah, dan atas takdir Tuhan Nabi Muhammad Saw. muda adalah orang yang pertama kali masuk pada saat itu, sehingga sesuai perjanjian semua kabilah Nabi Muhammad Saw. lah yang berhak meletakkan batu tersebut.
Akan tetapi, beliau tau bahwa semua kabilah punya keinginan untuk ikut andil dalam peletakan tersebut. Akhirnya beliau meletakkan batu tersebut di atas sorban dan mengajak semua kepala kabilah untuk memegang ujung sorban tersebut dan bersama-sama mengangkat batu mulia itu untuk kemudian diletakkan di tempatnya.
Mungkin ada yang bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. tersebut tidak ada nilai politiknya. Namun, kembali lagi, bahwa politik itu adalah suatu metode untuk mencari jalan terbaik untuk kepentingan umum.
Atau lebih maju lagi, bisa kita lihat pada zaman Khulafaur Rasyidin. Pada zaman itu, penuh nilai-nilai politik, yang terlibat adalah kebanyakan dari para sahabat Nabi Saw. Empat Khalifah terbaik, siapa yang memungkiri mereka bukan bagian dari ulama?
Sahabat Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu adalah pemimpin pertama pasca-wafatnya Nabi Muhammad Saw. yang terpilih secara demokratis, di mana pada saat itu antara sahabat Muhajirin dan Anshar bersitegang mengenai siapa sosok yang pantas untuk menggantikan Nabi Saw. Kejadian itu tentu bukanlah sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan politik.
Atau kita lebih ke depan lagi, dalam peristiwa Tahkim, peristiwa arbitrase antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu dan Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallāhu ‘anhu. Kedua kubu itu sama-sama mengutus salah seorang sahabat untuk melakukan arbitrase, Sahabat Abu Musa Al Asy’ari dari kubu Khalifah Ali radhiyallāhu ‘anhu. dan Sahabat Amr bin Ash dari kubu Sahabat Muawiyah radhiyallāhu ‘anhu. Kedua sahabat itu tidak perlu diragukan lagi perihal ke-ulama-annya.
Lalu apakah pada masa sekarang ulama tidak perlu ikut andil dalam politik? Kalau yang berfikir dan menjawab iya, itu artinya merelakan kalau yang ada dalam lingkaran politik itu adalah orang-orang yang belum jelas keilmuannya, seorang sarjana politik belum tentu memahami nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sebagaimana yang diajarkan dalam peradaban Islam.
Pada intinya, ulama ikut andil dalam politik itu bukanlah hal baru, bukan juga sesuatu yang anomali, bukan juga karena haus kekuasaan. Akan tetapi, ulama yang ikut terlibat dalam politik itu pasti punya sudut pandang yang tentu akan mewarnai politik bangsa ini dengan nilai-nilai peradaban Islam.
Sekian terimakasih!
Penulis: M. Syafik, Brung Bung, Gunung Sereng. Santri aktif Pondok Pesantren Nurul Cholil
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here