مِنْ عَلامَةِ الاعْتِمادِ عَلى العَمَلِ، نُقْصانُ الرَّجاءِ عِنْدَ وُجودِ الزَّللِ
Artinya: “Termasuk alamat terlalu mengandalkan amal adalah menurunnya harapan tatkala tergelincir melakukan kesalahan.”
Mengandalkan amal bukan hal terpuji, melainkan tercela. Jangan sampai dalam mencari rida Allah dan pahala yang telah Allah janjikan, kita mengandalkam amal ibadah untuk memperoleh semua itu. Sebab, rida-Nya hanya dapat diperoleh dengan anugerah dan kasih sayang-Nya. Bukan semata-mata amal ibadah saja. Dalam konteks ini, perhatikan hadis berikut:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الجَنَّةَ، قَالُوا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: لاَ، وَلاَ أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ (البخاري رواه)
Artinya: “Amal tidak akan memasukkan seseorang ke surga. ‘Tidak pula Engkau wahai Rasulullah?’ Sahabat Nabi bertanya. ‘Tudak. Tidak pula aku. Kecuali Allah menelungkupku dengan anugerah dan rahmat,’ tegas Nabi.” (HR. Imam Bukhari)
Kata Syekh Būthī di dalam Syarh wa-Tahīl al-Hikām al-Athā’iyyah, amal bukanlah uang yang dengannya kamu dapat membeli surga. Oleh karena itu, sejatinya ketaatan dan ibadah, yang dicari murni hanyalah rida-Nya. Dengan harapan mendapat anugerah, ampunan, dan kedermawanan-Nya. Bukan upah atas amal itu sendiri.
Bagaimana cara mengetahui bahwa kita mengandalkan amal?
Indikator bahwa kita terlalu mengandalkan amal adalah ‘menurunnya’ harapan tatkala melakukan maksiat dan menerjang larangan Allah. Saat senantiasa taat melakukan hal-hal baik, ibadah, dan menjauhi larangan syariat, sedikit banyak, pasti harapan memperoleh balasan surga itu mendominasi dalam pikiran. Merasa peluang masuk surga sangat besar ketika itu.
Namun demikian, saat hawa nafsu merajalela, dan terjerumus dalam kemaksiatan, apalagi dosa besar, harapan masuk surga itu mulai mengikis, dan bahkan sirna. Nah, jika ini yang kita alami, maka dapat dipastikan, bahwa kita terlalu mengandalkan dan bergantung pada amal. Tatkala amal kita baik, kita berharap tinggi. Sebaliknya, tatkala amal kita buruk, pengharapan kita menyusut seiring buruknya amal.
Ini indikator bahwa kita terlalu mengandalkan amal. Sebagaimana kalam hikmah Syekh Ibnu Athā’illāh yang telah diuraikan di muka
Memgandalkan amal termasuk akhlak tercela
Sekali lagi, hal ini tidak baik. Bahkan termasuk akhlak tercela di hadapan Pencipta. Mengapa? Karena kita telah sombong; beranggapan bahwa surga hanya diperoleh dengan amal dan jerih payah sendiri. Bukan dengan anugerah dan rahmat Allah. Alhasil, meyakini amal sebagai satu-satunya yang memasukkan seseorang ke surga adalah bentuk kesombongan.
Keyakinan amal dapat memasukkan ke surga dapat menciderai akidah
Lagipula, siapa kita? Siapa yang telah membuat kita mampu beribadah? Siapa yang memberi hidayah kita dari kekufuran dan maksiat? Siapa yang menciptakan amal kita? Siapa kalau bukan Allah sendiri? Lantas mengapa kita bisa menuntut balasan atas amal ibadah yang tanpa hidayah-Nya kita tidak akan beramal sedikit pun? Layakkah surga-Nya kita bayar dengan amal yang Dia sendiri yang menghendakinya terjadi pada diri kita?
Disadari atau tidak, kata Syekh Būthī, keyakinan demikian menyalahi akidah. Allah memiliki sifat wahdāniyyah; Esa dalam Dzat, Sifat dan Af’āl (perbuatan/penciptaan). Dia seorang diri yang memberimu hidayah, Dia seorang diri yang menciptakan “ketaatan” dalam diri manusia. Dia seorang diri yang memudahkan orang mukmin yang Dia kehendaki untuk senantiasa beribadah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Meyakini amal ibadah dapat memasukkan ke surga sama dengan menyekutukan-Nya dalam Af’āl-Nya.
Meyakini pahala pasti diperoleh dengan amal menciderai akidah. Begitupun Meyakini siksa pasti ditimpakan pada pelaku maksiat. Pahala murni anugerah-Nya. Siksaan murni keadilan-Nya. Sebagaimana hal ini ditegaskan syekh Burhanuddin Ibrahim bin Hasan al-Laqqānī dalam Jawhārah at-Tauhid:
“فإن يثبنا فبمحض فضله، وإن يعذب فبمحض العدل”
Artinya: “Jika Dia memberi pahala, itu murni anugerah-Nya. Jika menyiksa, itu murni keadilan-Nya.”
Syekh Būthī berkisah seorang laki-laki yang mendengar wanita salihah sedang ibadah di tengah malam seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, dengan cinta-Mu padaku, aku memohon agar Engkau menolong, menyelamatka dan memuliakanku.” Laki-laki itu kaget dengan doa wanita.
Setelah selesai dari ibadahnya, ia menanyakan perihal doa wanita itu, “Doa macam apa itu. Genit sekali!?” Dengan keyakinan, wanita menjawab, “Andai bukan karena ‘cinta-Nya’ padaku niscaya Dia tidak akan membuatku terbangun untuk beribadah saat semua terlelap, bersimpuh di hadapan-Nya dan membuatku mampu bermunajat pada-Nya!” Wanita itu sedikit pun tidak memandang dirinya memiliki peran dalam ibadah. Di balik kemampuan taat dan ibadah, ada Allah yang membuatnya mampu.
Bagaimana denga perintah masuk surga dengan amal?
Perhatikan arti ayat berikut, “Masuklah kalian ke surga dengan apa yang kalian amalkan.” (QS. An-Nahl: 32)
Bukankah ayat ini secara tegas memosisikan amal sebagi sebab masuk surga? Benar. Akan tetapi, dengan anugerah dan rahmat serta kebaikan-Nya.
Andai kita menuntut surga dengan amal, niscaya amal itu tidak akan sebanding dengan anugerah dan nikmat-Nya. Ada kisah seorang hamba yang ngotot menuntut surga karena semasa hidup tidak pernah bermaksiat sama sekali. Lantas Allah menimbang berat nikmat satu matanya dengan berat ibadahnya semasa hidup. Ternyata anugerah Allah berupa satu mata masih lebih berat dibandingkan dengan ibadah hamba itu seumur hidup.
Ini hanya nikmat satu mata saja. Belum yang lain. Sampai kapan pun, dan siapa pun, ibadah tidak akan sebanding dengan anugerah dan nikmat Allah. Maka tidak akan ada satu pun makhluk yang layak masuk surga tanpa rahmat-Nya.
Seimbang antara harapan (rājā’) dan takut (khauf)
Yang hendak Ibnu Atha’illah tegaskan adalah termasuk akibat fatal dari mengandalkan amal adalah menyusutnya harapan tatkala bermasiat. Bahkan sampai putus asa akan rahmat Tuhan. Saat melakukan dosa, rasa takut akan siksaan lebih mendominasi dibandingkan harapan akan rahmat.
Padahal, rasa takut itu harus seimbang dengan harapan. Takut pada siksa tatkala maksiat itu harus, namun harus disertai harapan pada rahmat dan ampunan. Berharap pahala dan surga tatkala senantiasa taat itu harus, namun juga harus disertai rasa takut akan siksaan. Sebab manusia pasti melewati dua hal; taat dan maksiat.
Bagaimana cara menyeimbangkan khauf dan rājā’? Dengan meyakini penuh bahwa ketaatan hakikatnya tidak memiliki pengaruh dan tidak bisa diandalkan dalam memperoleh pahala dan surga-Nya. Keyakinan ini dapat membantu menyeimbangkan antara rasa takut dan harapan .
Kendati demikian, perlu dicatat firaman Allah berikut, yang artinya: “Rahmatku menyeluruh pada setiap sesuatu. Aku akan mencatatnya untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-A’rāf: 156)
Artinya, meskipun amal tidak memiliki pengaruh dalam memperoleh pahala, namun Allah sendiri telah mencatatnya untuk orang yang bertaqwa. Di samping harus menjalankan perintah dan menjauhi larangan, ia juga harus meyakini bahwa ia akan memperoleh pahala dengan rahmat dan anugerah-Nya. Bukan dengan amal ibadahnya. Wallahu A’lam.
Penulis: Ahmad Hamidi, Pengajar dan Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil.
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here