KajianNews

Menelaah Tradisi Tahlilan

Ilustrasi: Menelaah Tradisi Tahlilan—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

nubangkalan.or.idTahlil secara bahasa ialah membaca lā ilāha illallāh, kemudian digunakan sebagai nama acara selamatan atau sebuah acara yang di dalamnya diisi membaca ayat-ayat al-Quran, zikir, tasbih, dan sebagainya, yang semua pahalanya dikirimkan untuk orang yang sudah meninggal, terlebih pada malam pertama sampai ke tujuh, karena pada malam tersebut orang-orang wafat mendapatkan berbagai ujian di alam kubur. Sesuai dengan pemaparan Imam Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin as-Suyuti dalam kitabnya, al-Hāwi lil Fatāwī, yaitu:

ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﺱ: ﺇﻥ اﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ، ﻓﻜﺎﻧﻮا ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺃﻥ ﻳﻄﻌﻢ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ اﻷﻳﺎﻡ.

Artinya: “Imam Thawus berkata: Sesungguhnya orang-orang yang sudah wafat mendapatkan ujian di dalam kubur mereka selama tujuh hari. Oleh sebab itu, para sahabat senang untuk memberi sedekah maknan pada tujuh hari tersebut.”

Semakna dengan uraian ini keterangan berikut:

ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ: ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ، ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻳﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ، ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ

Artinya: Dari Ubaid bin Umair, ia berkata: Dua orang, yakni seorang mukmin dan seorang munafik, memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin, ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafik disiksa selama empat puluh hari.”

Maka dengan dua pe njelasan di atas, di kalangan Ahlussunah wal-Jemaah, khususnya Nahdhatul Ulama, setiap ada orang yang meninggal pasti akan melaksanakan tahlilan. Sebab, dengan adanya tahlilan tersebut yang di dalamnya terdapat bacaan-bacaan telah disebutkan yang dihadiahkan kepada mayit, akan sangat menolong kepada mayit, karena yang dibutuhkan mayit pada saat itu tiada lain kecuali hadiah kebaikan dari orang yang masih haidup, baik berupa sedekah atau bacaan al-Qur’an dan sebagainya, terutama pada malam pertama.

Sebagaimana yang disampaikan Syekkh Nawawi al-Bantani dalam karyanya, Nihāyatuz Zain, sebagai berikut:

ﻻ ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﺃﺷﺪ ﻣﻦ اﻟﻠﻴﻠﺔ اﻷﻭﻟﻰ ﻓﺎﺭﺣﻤﻮا ﺑﺎﻟﺼﺪﻗﺔ ﻣﻦ ﻳﻤﻮﺕ

Artinya: “Tidaklah datang kepada mayat yang lebih dahsyat keresahannya melainkan di malam pertama. Maka kasihanilah mereka dengan bersedekah atas nama orang yang meninggal tersebut.”

Tradisi 3 hari, 7 hari, dan Seterusnya

Tak henti-hentinya orang yang tidak senang dengan  Nahdhatul Ulama selalu menyalahkan amaliah-amaliahnya, bahkan yang paling sering sampai memfitnah dengan tuduhan bahwa tradisi yang dilakukan seperti tahlil 3 hari, 7 hari dan seterusnya, tidak berdasarkan dalil yang jelas, bahkan dianggap sama dengan tradisi orang-orang Hindu. Oleh sebab itu, kami akan mengulas dalil-dalil tahlil sesuai ajaran Ahlussunah wal-Jemaah sebagai berikut:

ﺃﻥ ﺳﻨﺔ اﻹﻃﻌﺎﻡ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ، ﺑﻠﻐﻨﻲ ﺃﻧﻬﺎ ﻣﺴﺘﻤﺮﺓ ﺇﻟﻰ اﻵﻥ ﺑﻤﻜﺔ ﻭاﻟﻤﺪﻳﻨﺔ، ﻓﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻢ ﺗﺘﺮﻙ ﻣﻦ ﻋﻬﺪ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺇﻟﻰ اﻵﻥ، ﻭﺃﻧﻬﻢ ﺃﺧﺬﻭﻫﺎ ﺧﻠﻔﺎ ﻋﻦ ﺳﻠﻒ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ.

Artinya: “Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwasanya kesunahan bersedekah memberi makanan selama 7 hari itu telah berlangsung di Makkah dan Madinah hingga sekarang. Maka secara zahir bahwa sedekah tersebut tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai sekarang. Para generasi akhir (khalaf) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama.” (al-Hāwī lil- Fatāwi, juz 2, Halaman 234.)

Selain penjelasan ini, perhatikan uraian berikut:

ﻭاﻟﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﺑﻮﺟﻪ ﺷﺮﻋﻲ ﻣﻄﻠﻮﺏ ﻭﻻ ﻳﺘﻘﻴﺪ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﻓﻲ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻭ ﺃﻗﻞ ﻭﺗﻘﻴﻴﺪﻩ ﺑﺒﻌﺾ اﻷﻳﺎﻡ ﻣﻦ اﻟﻌﻮاﺋﺪ ﻓﻘﻂ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﺴﻴﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﺩﺣﻼﻥ ﻭﻗﺪ ﺟﺮﺕ ﻋﺎﺩﺓ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﻓﻲ ﺛﺎﻟﺚ ﻣﻦ ﻣﻮﺗﻪ ﻭﻓﻲ ﺳﺎﺑﻊ ﻭﻓﻲ ﺗﻤﺎﻡ اﻟﻌﺸﺮﻳﻦ ﻭﻓﻲ اﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﻭﻓﻲ اﻟﻤﺎﺋﺔ ﻭﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﻞ ﺳﻨﺔ ﺣﻮﻻ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﻤﻮﺕ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺎﺩﻩ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻳﻮﺳﻒ اﻟﺴﻨﺒﻼﻭﻳﻨﻲ.

Artinya: “Dianjurkan oleh syara’ bersedekah bagi mayit, sedangkan bersedekah itu tidak di batasi dengan 7 hari, lebih banyak atau lebih sedikit. Adap pelaksanaan bersedekah pada hari-hari tertentu itu hanya sebagai kebiasaan (adat) saja, sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.” (Nihāyatuz Zain, Halaman 281)

Benarkah Pahala Kebaikan Orang yang Masih Hidup Bisa Sampai kepada Orang yang Meninggal?

Dijelaskan dalam kitab al-Um, juz 4, halaman 124, karya Imam Syafii, bahwa sesungguhnya pahala atau sedekah orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang mati. Begini redaksinya:

ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ اﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺇﻣﻼء ﻗﺎﻝ: ﻳﻠﺤﻖ اﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻋﻤﻠﻪ ﺛﻼﺙ ﺣﺞ ﻳﺆﺩﻯ ﻋﻨﻪ ﻭﻣﺎﻝ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻨﻪ، ﺃﻭ ﻳﻘﻀﻰ ﻭﺩﻋﺎء

Artinya: “Ar-Rabi’ bin Sulaiman meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Imam Syafii dengan cara mendekte, beliau berkata: terdapat tiga perkara yang sampai kepada mayit dari pekerjaan orang lain, yaitu: haji yang dilakukan untuk mayit, harta yang disedekahkan atau dibayarkan untuknya, dan doa.”

Lantas jika memang pahala atau sedekah orang yang hidup bisa sampai kepada orang yang mati, maka bagaimana dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. An-Najm ayat 39, yang berbunyi:


وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ

 Artinya: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Maka dari ayat tersebut golongan salafi Wahabi memiliki pemahaman bahwa pahala atau sedekah orang yang masih hidup tidak bisa sampai kepada orang yang mati, sebab manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya sendiri.

Oleh sebab itu, seperti apakah sebenarnya maksud dari Ayat tersebut. Dijelaskan dalam kitab HāsyiahaAl-Bujairamī alā al-Khatīb, juz 2, halaman 302, karya Imam Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, sebagai berikut:

Pertama, bahwa ayat tersebut adalah ayat yang hanya berlaku dalam syariat Nabi Ibrahim As. dan Nabi Musa As.  Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad Saw. mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain.

Kedua,  Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansūkh atau digati dengan firman Allah Swt dalam Q.S At-Thu ayat, yaitu

وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ

Artinya: Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.”

 Maka dengan ayat ini menyatakan bahwa seorang anak bisa masuk surga sebab kebaikan ayahnya.

Tahlil Menurut Ibnu Taimiyah

ﻭﺳﺌﻞ: ﻋﻦ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ؟ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺇﺫا ﺃﻫﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ؟ . ﻓﺄﺟﺎﺏ: ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞﻫ ﻭﺗﺴﺒﻴﺤﻬﻢ ﻭﺗﻜﺒﻴﺮﻫﻢ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺃﻫﺪﻭﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

Artinya: “Ibnu Taimiyah ditanya tentang bacaan ahli mayit (keluarga janazah) apakah sampai pada mayit tersebut? Dan bacaan tasbih, tahmid tahlil, dan takbir, apabila pahalanya dihadiahkan kepada mayit, apakah sampai atau tidak?

“Ibnu Taimiyah menjawab: bacaan keluarga mayit itu bisa sampai kepada mayit, begitu juga bacaan tahlil, tahmid, takbi, dan semua dzikir kepada Allah juga sampai kepada mayit apabila pahalanya dihadiahkan kepada mayit.” (Majmuul Fatawa, Juz 24, Halaman 324)

Demikianlah telaah tentang Tradisi Tahlilan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ibrahim, Santri Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Tepa’nah Barat, Durjan, Kokop, Bangkalan.

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here