KajianKolom

Usia yang Pas untuk Menikah dalam Perspektif Islam

Ilustrasi: Usia yang Pas untuk Menikah dalam Perspektif Islam—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

nubangkalan.co.id – Ada yang masih seumuran jagung tapi udah kebelet nikah, ada juga yang sudah tua tapi tak kunjung menikah, begitulah Allah ﷻ mentakdirkan hamba-hambanya dengan penuh warna yang berbeda-beda. Timbul pertanyaan, berapa usia ideal menikah menurut syariat Islam?

Terkadang menikah di usia dini membuat rumah tangga hancur tidak karuan karena kurangnya ilmu pengetahuan sebab masa pendidikannya tidak maksimal, dan kadang jika hendak menikah di usia tua akan kesulitan mencari pasangan atau menurunnya hasrat menikah sehingga tidak bisa saling memuaskan pasangan satu sama lain.

Sebenarnya, dalam usia menikah ini syariat tidak menjelaskan secara detail umur yang dianggap ideal. Namun, lebih mengarahkan kepada kemaslahatan satu sama lain, misalnya menikah usia dini karena khawatir melakukan zina jika tidak dinikahkan, atau juga menikah di usia tua karena ingin menyelesaikan pendidikannya, mengejar karirnya, atau karena faktor lain.

Oleh karenanya, Rasulullah ﷺ memberi kebebasan kepada siapa saja untuk menikah, jika sudah memiliki keinginan untuk berkeluarga dan memiliki mahar untuk diberikan kepada istrinya maka dianjurkan segera menikah, sebagaimana tertulis dalam hadis:

فَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (البخاري، صحيح البخاري، ٢٦/٣)

Artinya: “Rasulullah ﷺ bersabda, Barang siapa di antara kalian mampu menikah, hendaklah menikah. Sebab, menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun, barang siapa yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah pengekang (syahwat) baginya.” (HR. Imam Bukhari)

Dari hadis tersebut, ketika ditelisik lebih jauh, rupanya lebih diarahkan pada para pemuda. Saat muda inilah manusia lagi bucin-bucinnya dengan pasangan, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari:

قَوْلُهُ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ خَصَّ الشَّبَابَ بِالْخِطَابِ لِأَنَّ الْغَالِبَ وُجُودُ قُوَّةِ الدَّاعِي فِيهِمْ إِلَى النِّكَاحِ بِخِلَافِ الشُّيُوخِ وَإِنْ كَانَ الْمَعْنَى مُعْتَبَرًا إِذَا وُجِدَ السَّبَبُ فِي الْكُهُولِ وَالشُّيُوخِ أَيْضًا (ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ١٠٨/٩)

Artinya: “Adapun sabda Nabi ﷺ yang berupa ‘barang siapa di antara kalian mampu menikah…’ merupakan khitab khusus kepada para pemuda, karena pada umumnya dorongan untuk menikah lebih kuat pada mereka dibandingkan pada dewasa, meskipun secara esensi tetap berlaku bagi siapa saja, asal terdapat alasan untuk menikah, baik bagi orang paruh baya maupun yang tua.”

Nah, sekarang yang menjadi tanda tanya, siapa itu pemuda, dan sampai mana batasan umurnya?

Dalam konteks ini,  Imam Nawawi berpendapat bahwa pemuda ialah orang yang sudah balig dan belum lewat usia tiga puluh tahun, sebagaimana tercantum dalam kitab yang sama, Fathul Bari:

وَقَالَ النَّوَوِيُّ الْأَصَحُّ الْمُخْتَارُ أَنَّ الشَّابَّ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِزِ الثَّلَاثِينَ ثُمَّ هُوَ كَهْلٌ إِلَى أَنْ يُجَاوِزَ الْأَرْبَعِينَ ثُمَّ هُوَ شَيْخٌ (ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ١٠٨/٩)

Artinya: “Imam Nawawi berkata, menurut pendapat yang paling sahih dan terpilih adalah bahwa seseorang disebut pemuda (syab) jika ia telah mencapai balig dan belum melewati usia tiga puluh tahun. Setelah itu, ia disebut paruh baya (kahil) hingga melewati usia empat puluh tahun. Setelah itu, ia disebut tua (syekh).”

Dari pemaparan di atas, ketika di angan-angan, usia menikah yang baik tentunya dari sejak balig sampai umur 30 tahun, dan jika sudah umur 30 tahun, mestinya sudah punya pasangan, karena sudah tidak dianggap pemuda lagi, meskipun Rasulullah ﷺ tidak memberi penjabaran detail akan hal itu.

Dan perlu diketahui bahwa dalam konteks perkembangan hukum, kedewasaan dipandang sebagai aspek penting dalam membangun keluarga yang stabil dan harmonis. Secara umum, pria dianggap mencapai kedewasaan pada usia 25 tahun, sementara wanita pada usia 20 tahun, atau setidaknya 19 tahun untuk keduanya.

Namun demikian, batas usia ini bukanlah ukuran mutlak untuk menilai kedewasaan seseorang, karena kedewasaan juga bergantung pada kondisi fisik dan mental individu.

Maka dari itu, pemerintah menetapkan aturan terkait batas minimal usia menikah. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 Ayat 1 mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
Kemudian disusul ayat ke-2 yang berbunyi, “Dalam hal terdapat penyimpangan terhadap batas umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Dan dilengkapi dengan ayat ke-3 yang berbunyi, “Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.”

Dari aturan pemerintah yang telah ditetapkan di atas menunjukkan bahwa tidak ada batas usia ideal dalam menikah, akan tetapi lebih melihat terhadap kemaslahatan yang ada. Dan adanya aturan dalam menikah tersebut bukan tanpa alasan, melainkan bertujuan untuk menjaga stabilitas perkembangan hidup manusia agar memiliki pola hidup yang sehat secara rohani dan jasmani serta memiliki bekal yang cukup untuk berkeluarga.

Kesimpulannya, menikah di usia berapapun tidak masalah asalkan ada unsur maslahat, mampu untuk menikah dan tentunya jika sudah ada calonnya. Allāhu a’lam.

Rujukan:
– Imam Bukhari. Shahih Bukhari. Maktabah Syamilah; dan
– Syekh Ibnu Hajar al-Haitami. Fathul Bari. Maktabah Syamilah.

Penulis: Fakhrullah, Santri Aktif Ponpes Syaichona Moh Cholil Bangkalan
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan

Comment here