Air adalah salah satu sumber kehidupan di muka bumi. Tak hanya manusia atau hewan, bahkan mayoritas makhluk membutuhkan air, seperti tumbuhan dan lainnya. Kita pasti sudah merasakan dan melihat sulitnya mendapatkan air ketika musim kemarau tiba, tanah terpecah belah, tumbuh-tumbuhan semua mengering. Ini menandakan betapa pentingnya air bagi semua kehidupan yang ada di muka bumi.
Cara Mendapatkan Air
Islam mengatur cara kita beretika dan meminta kepada Allah, misalnya meminta harta dan jabatan dengan memperbanyak membaca surah al-Wāqi’ah dan amalan amalan lainnya, sebagai bentuk mendekatkan diri dan cepat terkabulkan keinginan yang kita inginkan. Begitu juga ketika seseorang menginginkan hujan (air), para nabi dan para sahabat mengajarkan bagaimana cara kita meminta hujan yang baik dan benar agar cepat terkabul, yaitu dengan cara melakukan salat istisqā’, sebagaimana ketika Allah menceritakan kisah Nabi Musa dalam al-Qur’an. Allah Swt. berfirman:
وَإِذِ ٱسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ فَقُلْنَا ٱضْرِب بِّعَصَاكَ ٱلْحَجَرَ ۖ فَٱنفَجَرَتْ مِنْهُ ٱثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ مِن رِّزْقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. Al-Baqarah [60] ).
Melihat ayat ini, salat istisqā’ tak hanya dilakukan oleh umat Nabi Muhammad saja, melainkan para nabi terdahulu, juga melakukan salat istisqā’ ketika mereka menginginkan hujan. Artinya, salat ini sudah disyariatkan sejak sebelum masa Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Namun, hal tersebut menurut Imam Abu Bakar bin Muhammad as-Syatha, dalam salah satu karyanya yang berjudul I’ānatut Thalibīn fi Syarh Fathul Mu’īn, menafsirkan ayat di atas, bahwa tidak menjadikan alasan disyariatkan istisqā’ pada masa Nabi Muhammad. Sebab, menurut beliau, syariat nabi terdahulu, tidak bisa menjadi alasan disyariatkan pada masa Nabi Muhammad. Perhatikan uraian berikut:
واذ استسقى موسى لقومه وانما كان هذا استئناسا لا استدلالا لأن شرع من قبلنا ليس شرعا لنا على الراجح وان ورد في شرعنا
Artinya: “Dan ( ingatlah) ketika musa memohon air untuk kaumnya. dan sesungguhnya ini hanya kecintaan bukan menjadi dalil. Karena syariat dari sebelumnya bukan syariat bagi kita menurut kaul yang unggul meskipun dianjurkan dalam syariat kita.” ( Imam Abu bakar bin Muhammad As-syathā, I’ānatut Thalibīn Syarh Fathul Mu’īn, jilid 1, halaman 304).
Awal Mula Disyariatkan Istisqā’
Kemudian pada masa Nabi Muhammad salat istisqā’ baru dianjurkan bertepatan pada tahun enam Hijriah. Pada saat itu ada seseorang laki-laki ketika Nabi Muhammad berkhotbah pada Jumat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Harta-harta rusak dan tanah terpecah belah. Bantulah kami supaya diturunkan hujan oleh Allah. Kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya bedoa. اللهم اغثنا, “Yā Allah, turunkan hujan untuk kami.”
وعن انس ان رجلا دخل المسجد يوم الجمعه والنبي صلى الله عليه وسلم قائم يخطب فقال يارسول الله هلكت الأموال وانقطعت السبل فادع الله عز وجل يغيثنا فرفع يديه ثم قال اللهم اغثنا اللهم اغثنا فذكرالحديث وفيه الدعاء بامساكها. متفق عليه
Artinya: “Dari Anas radhiyallāhu anhu, bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jumat ketika Nabi Saw. berdiri untuk khotbah, lalu ia berkata: ‘Wahai Rosulullah, telah binasa harta benda, jalan-jalan terputus, berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan pada kita.’ Lalu Beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian Nabi berdoa: Ya Allah berilah kami hujan, ya Allah kami hujan … Ia menyebut hadis, dalam hadis tersebut ada doa menahan hujan.”
Hal-Hal yang Harus Dilakukan Sebelum Istisqā’
Sebelum melakukan salat Istisqā’, para ulama mengajarkan kepada para pemimpin/imam untuk memerintahkan masyarakat dan penduduknya melakukan beberapa hal, di antaranya adalah:
1. Bertaubat dari segala dosa, menyesal serta tidak mengulang kembali;
2. Bersedekah;
3. Tidak berbuat kezaliman;
4. Mendamaikan orang yang bermusuhan;
5..Berpuasa selama tiga hari; dan
6. Tidak memakai minyak wangi serta berpakaian yang kumuh (pakaian yang dipakai sehari-hari).
وصلاة الاستسقاء مسنونة فيأمرهم الامام بالتوبة والصدقة والخروج من المظالم ومصلحة الاعداء وصيام ثلاثة أيام ثم يخرج بهم في اليوم الرابع في ثياب بذلة واستكانة
Artinya: “Salat Istisqā disunahkan. Bagi imam sebaiknya memerintah penduduknya untuk bertaubat, bersedekah, keluar dari kezaliman, mendamaikan orang bermusuhan, dan berpuasa selama tiga hari. Kemudian keluar pada hari keempat dengan berpakaian yang kumuh.” (Imam Abū Sujā’, Ta’reb Syarh Fathul Qarīb, jilid 1, halaman 20).
Tata Cara Istisqā’
Istisqā’ atau meminta hujan boleh dilakukan sendirian atau berjemaah. Istisqā’ ada 3 macam:
1. Berdoa tanpa salat, begitu tidak setelah salat, baik sendirian maupun berjama’ah;
2. Berdoa setelah salat Jumat atau salat-salat lainnya, di dalam khotbah dan yang semisalnya;
3. Istisqā’ dengan salat dua rakaat, dua khotbah, dan persiapan untuk hal itu sebelumnya. Sedangkan jika salat sendiri maka tidak dianjurkan berkhotbah.
Itulah cara-cara melakukan istisqā’ dan sejarah singkatnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Rijalalloh, Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam, Tepa’nah Barat, Kokop, Bangkalaan.
Editor: Syifaul Qulub Amin
Comment here