nubangkalan.or.id—Pada bagian pertama sudah dijelaskan bahwa dalam keputusan Bahtsul Masail Muktamar di Jombang disebutkan bahwa Aswaja An-Nahdliyah memiliki khashā’ish dan memuyyizāt. Yang pertama telah diuraikan. Berikutnya adalah yang kedua.
2. Bermadzhab
Bagi NU, ijtihad adalah wewenang orang yang yang memenuhi kriteria tertentu. Oleh karena itu, bagi orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut, harus mengikuti mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada pemilik mazhab tersebut.
– Di bidang syariah/fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik bin Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
– Di bidang akidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi.
– Di bidang akhlak/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3. Memiliki empat pendekatan dalam menyikapi tradisi, yaitu pendekatan adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan eliminasi.
Penjelasan lebih lengkap mengenai ke empat pendekatan di atas bisa dibaca dalam keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim tentang Islam Nusantara.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyampaikan secara ringkas saja.
Pertama, menyikapi tradisi yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat, dipakai pendekatan adaptasi.
Pendekatan ini mengacu kepada hadis yang memerintahkan umat Islam menggunakan akhlak yang mulia di dalam berinteraksi dengan orang lain, baik Muslim ataupun non-Muslim. Menurut Sayyidina Ali karramallāhu wajhah, akhlak yang mulia adalah:
موافقة الناس في كل شيء ما عدا المعاصي
Artinya: “Yaitu beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal kecuali kemaksiatan.”
Kedua, menyikapi tradisi yang di dalamnya mengandung nilai kebaikan dan keburukan, dipakai pendekatan netralisasi. Pendekatan ini mengacu kepada sejumlah dalil, di antaranya adalah sikap Nabi ﷺ terhadap tradisi akikah. Pada masa jahiliyyah menyembelih kambing ketika kelahiran anak sudah menjadi tradisi. Akan tetapi, mereka punya kebiasaan buruk mengolesi kepala bayi yang lahir dengan darah kambing tersebut. Kemudian oleh Islam tradisi ini diakomodir sebagai kesunnatan, tapi tradisi mengolesi kepla bayi dengan darah itu diganti dengan mengolesi dangan minyak wangi.
Ketiga, menyikapi tradisi yang mengandung nilai keburukan yang belum bisa dihilangkan seketika, dilakukan pendekatan minimalisasi, yaitu dengan mengurangi keburukan tersebut sebisa mungkin.
Pendekatan terkadang dilakukan dengan mengganti tradisi yang mengandung keburukan yang lebih ringan atau membiarkan tradisi yang mengandung keburukan itu karena jika dilarang diyakini justru akan muncul keburukan yang lebih besar.
Keempat, menyikapi tradisi yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan, dilakukan pendekatan eliminasi, yaitu dengan menghilangkan tradisi tersebut sampa ke akar-akarnya secara bijaksana. Pendekatan ini misalnya dipakai dalam memberantas keyakinan animisme dan dinamisme.
4. Amar makruf harus dengan cara yang makruf. Terutama di dalam beramar makruf kepada pemerintah. Terutama lagi di Indonesia.
Almarhum Mbah K.H. Maimoen Zubair, salah satu tokoh panutan dalam NU, mengatakan,
“Gak ada negara Islam yang sebagus Indonesia. Di Indonesia itu, lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama saja diakui sebagai lembaga pendidikan yang disetarakan. Di negara lain gak ada yang kayak ini. Saya kepingin Indonesia yang sudah menjadi panutan negara-negara Islam yang lain ini supaya dilestarikan sampai nanti Indonesia ini menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur ….”
Oleh Karena itu, sangat tidak tepat seruan jihad dikumandangkan di Indonesia. Kalaupun ada kekurangan, ada hukum syariat yang belum diterapkan, atau bahkan ada ketidak adilan dalam kebijakan pemerintah, maka perlawanan terhadap ketidakadilan tidak boleh dilakukan dengan cara yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Kritik kepada pemerintah tentu saja boleh dilakukan. Bahkan wajib dalam rangka tawashaw bil haq dan amar makruf nahi munkar. Tapi kritik itu harus dilakukan dengan cara yang baik. Bahkan dalam satu hadis, Nabi ﷺ berpesan agar nasihat kepada pemerintah tidak disampaikan di tempat terbuka. Beliau bersabda:
من كان عنده نصيحة لذي سلطان فلايكلمه بها علانية، وليأخذ بيده فليخل به ، فإن قبلها وإلا قد أدى الذي عليه والذي له (رواه الحاكم)
Artinya: “Barang siapa memiliki nasihat yang hendak disampaikan kepada pemerintah, maka jangan-jangan terang-terangan di tempat terbuka. Namun jabatlah tangannya, ajaklah berbicara di tempat tertutup. Bila nasihatnya diterima, bersyukurlah. Bila tidak diterima, maka tidak mengapa, sebab dia telah melakukan kewajibannya dan memenuhi haknya.” (HR. Imam Hakim)
Berdasarkan hadis ini, tugas orang yang mengetahui kezaliman pemerintah adalah memberi nasihat dengan cara yang baik. Bukan menyerukan jihad untuk melakukan perlawanan fisik kepada pemerintah. Jika nasihat itu sudah disampaikan, tapi ternyata tidak diterima maka kewajibannya telah gugur dan pemerintah yang zalim itu akan mendapat balasan yang lebih berat dari Allah. Imam Abu Al-Hasan as-Syadzili berkata:
يوم العدل على الظالم أشد من يوم الظلم على المظلوم
Artinya: “Hari pengadilan terhadap orang zalim lebih berat daripada hari saat dia melakukan kezaliman terhadap orang yang terzalimi.”
Memang ada satu hadis yang secara lahir bisa dipahami berbeda dengan pesan hadis di atas. Yaitu sabda Nabi ﷺ:
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر (رواه أبو داود)
Artinya: “Paling utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat hak kepada pemimpin yang jahat.” (HR. Imam Abu Daud)
Namun demikian, Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menolak pemahaman tersebut. Dalam kitab al-Jihād fī al-Islām beliau menulis:
كم في هؤلاء الناس من إذا ذكر بحديث رسول الله:(أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر) وظفه للجهاد القتالي ولم يفهم من كلمة الحق في الحديث إلا المعنى الزجري الباعث على التربص والمنازلة والقتال…مع أن كلمة الحق هنا، وفي هذا الحديث بالذات لا تحمل شيأ من هذه الدلالة. بل الحديث في مجمله يبرز أهمية الصمود بالكلمة اللينة أمام جور السلطان وزجره. فظاهرة الزجر في هذا الحديث تنبعث احتمالاتها من طرف السلطان وبطشه، لا من جهة القائم بحق الله في الصدع بكلمة الحق لينة صافية عن سائر الأحقاد والشوائب.
Artinya: “Betapa banyak orang ketika menyebut hadis (أفضل الجهاد) selalu mengidentikkan lafadz jihad di atas dengan makna perang fisik. Sehingga yang mereka fahami dari ungkapan ‘ucapan yang hak dihadapan penguasa yang lalim’ di situ adalah ungkapan agitasi yang memprovokasi pada ajakan perlawanan, bentrok fisik, dan peperangan. Padahal, diksi ‘ungkapan yang hak’ dalam hadis tersebut sama sekali tidak mengandung makna tadi.
“Justru secara global, hadis ini menampakkan pentingnya konsisten pada kalimat yang santun di hadapan ancaman para penguasa yang lalim. Femonena “mengancam” di hadis ini justru berpotensi muncul dari pihak penguasa dengan sikap sewenang-wenangnya, bukan dari mereka yang menjalankan misi menyampaikan pesan Allah yang benar, yang seharusnya bercirikan lemah lembut, bersih dari sikap emosional dan segala kepentingan apapun.”
Dawuhnya Syekh al-Buthi ini amat sangat penting untuk kita pahami karena beliau merupakan tokoh yang selain ‘ālim ‘allāmah, juga memiliki pengalaman menghadapi konflik yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah. Bahkan beliau sendiri terbunuh gara-gara konflik tersebut. Pascakewafatan beliau, seorang ulama berkomentar:
الصدع بكلمة الحق في وجه الشباب الذي أعمى الحماس بصيرته وسيطرت روح الإنتقام على عقله واعتقد أنه على الحق المطلق وخصومه عبيد الطواغيت ولاعقي أخذية السلطان وفي وجه جموع العوام الهائجة وغوغاء الشارع الفوضوي أصعب بألف مرة من الصدع بكلمة الحق في وجه الحاكم الظالم.
Artinya: “Menyampaikan kebenaran secara tegas di hadapan para pemuda yang semangatnya telah membutakan mata hatinya dan kemarahan telah menguasai akalnya serta meyakini dirinya secara mutlak benar sementara musuh-musuhnya adalah para penyembah thaghut dan penjilat kaki penguasa, dan juga di hadapan orang-orang awam yang sedang goncang dan di tengah-tengah kerusuhan, jauh lebih sulit dibanding menyampaikan kebenaran secara tegas di hadapan pemimpin yang zalim.”
Demikianlah khashā’ish dan memuyyizāt Aswaja An-Nahdliyah.
Penulis: Ustadz Mohammad Mahrus Ali/Ketua Aswaja Center MWCNU Geger
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan
Comment here