Aswaja NUKajian

Khashā’ish Aswaja An-Nahdliyah #1

nubangkalan.or.id—Setidaknya ada dua keistimewaan NU yang mengharuskan kita istikamah di dalamnya.

Pertama, dari sisi pendirinya. NU didirikan oleh para ulama aulia. Benar organisasi lain juga didirikan oleh ulama, tetapi diakui ataupun tidak, mayoritas ulama ada di NU. Mbah Maimoen Zubair pernah dawuh, santri itu jangan sampai tidak NU, karena pesantren-pesantren besar itu hampir semuanya murid Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari atau teman beliau.

Dengan ikut NU, kita berharap diakui santri para pendiri NU meskipun kita tidak pernah mengaji langsung kepada mereka. NU itu pesantren besar, sementara pondok-pondok itu adalah pesantren-pesantren kecil. Begitu dawuh sebagian kiai. Jadi, kita ikut  NU itu sama halnya dengan kita mondok di pesantren besar yang diasuh tidak hanya oleh satu-dua ulama, tapi diasuh oleh seluruh ulama-ulama NU.

Dengan ikut dan memperjuangkan NU, kita mengharap syafaat ulama. Karena Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

يشفع يوم القيامة ثلاثة الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء

Artinya: “Ada tiga kelompok pada hari kiamat kelak diberi hak untuk memberi syafaat, yaitu 1) para nabi; 2) para ulama, dan 3) syuhada.”

Di dalam kitab an-Nūr al-Mubīn fī Mahabbati Sayyid  al-Mursalīn, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menukil keterangan Imam Qadhi Iyadh di dalam as-Syifā bahwa syafaat itu ada lima.

Pertama, syafā’atul ‘udhmā di Mahsyar. Hanya Nabi Muhammad ﷺ yang diberi hak untuk memberi syafaat ini. Kedua, syafaat untuk memasukkan orang ke surga tanpa hisab. Ini juga hak khusus Nabi Muhammad ﷺ. Ketiga, syafaat untuk menggagalkan orang masuk neraka. Ini hak Nabi Muhammad ﷺ dan orang yang dikehendaki oleh Allahﷻ. Keempat, syafaat untuk mengeluarkan orang dari neraka. Ini tidak khusus Nabi ﷺ, tapi ulama, syuhada dan orang-orang saleh juga diberi hak untuk memberi syafaat ini. Dan kelima, syafaat untuk mengangkat derajat di surga kelak.

Kedua, dari sisi ajarannya. Akidah, amaliah, dan akhlak yang diajarkan NU adalah ajaran murni dan asli yang dibawa para Wali Songo.

Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari di dalam Risālah Ahlissunah wal-Jamā’ah menjelaskan bahwa sebelum tahun 1330 Hijriah orang Nusantara akidah, amaliah, dan tasawufnya sama. Yaitu akidah, amaliah, dan akhlak yang sekarang diajarkan oleh NU. Dalam bidang akidah ikut Abul Hasan al-Asy’ari, fikih ikut madzāhibul arba’ah, khususnya Mazhab Syafi’i, dan dalam tasawuf ikut Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Ghazali, dan lainnya.

Dulu orang Nusantara itu semuanya bermazhab, ikut kitab-kitab muktabarah, cinta ahlul bait, aulia, dan salihin, serta bertabarruk dengan mereka, ziarah kubur, mentalkin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini adanya syafaat dan bermanfaatnya doa dan bertasawassul, dan lain-lain.

Kelompok yang bermacam-macam baru muncul pada tahun 1330 Hijriah. Mulai tahun ini mencul kelompok Wahabi, Abduisme, Rafidi, Ibahiyun, dan sampai sekarang terus berkembang aliran-aliran yang sangat banyak.

Jadi, kita ikut NU itu berarti kita ikut ajaran Islam yang murni yang dibawa oleh para wali yang memiliki sanad bersambung kepada Rasulullah ﷺ.

Ajaran NU sekarang dikenal  dengan Aswaja An-Nahdliyah. Dalam keputusan Bahtsul Masail Muktamar di Jombang disebutkan bahwa Aswaja An-Nahdliyah memiliki khashā’ish dan memuyyizāt sebagai berikut:

1. Al-Wasatiah

Dalam Bahtsul Masail itu juga disebutkan makna wasatiah sebagai berikut:

1. Keadilan di antara dua kezaliman dan kebenaran di antara dua kebatilan;
2. Perpaduan dan keseimbangan antara dua hal yang berbeda; dan
3. Wāqi’ī, realistis atau memperhatikan realitas.

Berdasarkan makna pertama, NU menolak pluralisme tapi menerima pluralitas. Menolak terorisme tapi menerima ajaran jihad.

Jika ada yang bertanya, kamu katakan NU menolak pluralisme, tapi menerima pluralitas. Akan tetapi bukankah banyak tokoh NU yang menerima dan memperjuangkan pluralisme? Jawabannya sebagai berikut.

Pluralisme yang mereka maksud  bukan pluralisme yang saya maksud. Karena memang sebagian tokoh memakai pluralisme itu untuk makna penerimaan terhadap pluralitas, sehingga betapa pun kita meyakini agama kita adalah satu-satunya agama yang benar. Namun, kita harus toleran terhadap penganut agama lain.

Beda misalnya dengan makna pluralisme dalam pandangan John Harwood Hick. Menurutnya, semua agama sama. Karena itu tidak boleh ada satu agama pun yang mengaku lebih baik dari agama lain. Pluralisme dengan makna ini ditolak oleh NU. Maka, jika ada orang NU yg meyakin pluralisme dengan makna ini berarti dia telah menyimpang dari ajaran NU yang asli.

Kesalahan di dalam memahami pluralisme yg dilontarkan oleh tokoh NU itulah yang menyebabkan banyak orang menyampaikan banyak tuduhan keliru terhadap sebagian tokoh NU, khususnya kepada almarhum Gus Dur.

Awal setiap bencana adalah kesalahan pahaman akibat sebuah kata yang memiliki banyak makna. Pengucap mengucapkan untuk suatu makna, namun pendengar memahaminya untuk makna lain. Akibatnya terjadilah bencana dan kekacauan. (Ibn Hazm al-Andalusī)

Jika ada yang bertanya, kamu katakan NU menolak terorisme tapi menerima ajaran jihad. Tapi bukankah keduanya sama saja?  jawabannya sebagai berikut.

Sama sekali tidak sama. Jihad qitāli  itu disyariatkan untuk daf’i udwānil kāfir (menolak kezaliman non-muslim) dan sebagai wasilah untuk menyampaikan dakwah Islam. Bukan untuk menteror dan memaksa non-muslim masuk Islam.

Namun demikian, bukankah orang Islam terkadang menyerang duluan? Betul. Karena al-udwān itu ada dua, yaitu al-udwān al-wāqi’ (kezaliman yang sedang terjadi) dan al-udwān al-mutawaqqa’ (kezaliman yang diyakini akan terjadi). Mereka menyerang duluan untuk menolak al-‘udwān al-mutawaqqa’.

Berdasarkan makna kedua, NU tidak hanya berpijak kepada dalil naqli tapi juga kepada dalil aqli.  Tidak meninggalkan dunia untuk akhirat dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunia. Akan tetapi, memadukan antara usaha dunia dan ibadah untuk akhirat.

Dalam satu hadis yang disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab al-Jāmius-Shaghīr:

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ ، وَلاَ  آخِرَتُهُ لِدٌنْيَاهُ حَتَّىّ يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا ، فَإِنَّ  الدُّنْيَا بَلاَغٌ إِلَى الْآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ ”

Artinya: “Bukanlah orang terbaik kalian, orang yang meninggalkan usaha dunia untuk akhirat saja.  Dia di masjid terus tanpa mau melakukan usaha dunia, sehingga dia menjadi beban bagi orang lain.”

Begitupun sebaliknya, bukanlah orang terbaik kalian orang yang meninggalkan akhirat untuk semata mencari dunia. Dia bekerja terus untuk mencari dunia semata, sampai melupakan kewajiban agama. Lalu dia mati membawa dosa dan tidak punya bekal amal baik dalam menempuh perjalanan menuju akhirat. Sementara harta yang telah dia cari dengan susah payah dia tinggalkan di dunia.

Orang yang terbaik baik adalah adalah orang rajin menjalankan ibadah untuk akhiratnya, namun dalam waktu bersamaan dia tidak malas bekerja untuk dunianya. Sebab, sesungguhnya dunia itu jalan untuk menuju akhirat, dan janganlah  kalian menjadi beban bagi orang lain.

Berdasarkan makna ketiga, NU menerima NKRI dan menolak HTI.

Jika ada yang bertanya, kamu katakan NU menerima NKRI dan menolak HTI. Kenapa? Bukankah wajib mendirikan khilafah? Jawabannya terurai sebagai berikut:

Mengenai khilafah, NU memiliki pandangan yang sama dengan kebanyakan ulama di dunia, termasuk Syekh Abdullah bin Bayyah, bahwa Khilafah merupakan persolan fikih yang tunduk kepada khithāb wadh’ī dengan memandang ia sebagai salah satu wasilah yang bisa diganti dengan wasilah yang lain tatkala pendirian khilafah itu dipandang tidak mungkin dilakukan. Syaikh Abdullah bin Bayyah berkata,

“Negara khilafah … tatkala dipahami tidak sesuai hakikatnya, maka ia akan berubah menjadi aksi-aksi yang bertentangan dengan tujuannya yang original. Akibatnya, rahmah justru berubah menjadi azab, dan yang menjadi korban tidak saja yang berdosa tapi juga yang tidak pernah berbuat kesalahan apa-apa.”

Bersambung ….

Penulis: Ustadz Mohammad Mahrus Ali/Ketua Aswaja Center MWCNU Geger
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan

Comment here