KajianNews

Perayaan Maulid Nabi bukan Hanya Sebatas Tradisi

Ilustrasi: Sekolompok umat Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammaad Saw.—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Memasuki bulan Rabiulawal, tentunya kita akan banyak menyaksikan seremonial-seremonial acara dalam rangka merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Perayaan ini tidak lain merupakan bentuk kegembiraan dan rasa syukur atas lahirnya Nabi Agung Muhammad Saw.

Meski demikian, ternyata masih ada sekelompok kecil masyarakat yang menganggap hal ini aneh, bahkan menganggap perayaan maulid Nabi Saw. sebagai perbuatan bidah yang dilarang oleh agama. Sangat disayangkan, kadang mereka yang bertahun-tahun lamanya merayakan Maulid Nabi, juga ikut terpengaruh setelah mendengar ceramah seorang ustadz yang mengklaim bahwa merayakan maulid hukumnya haram.

Sungguh aneh ketika umat Nabi Muhammad Saw. masih ada yang mempertanyakan dan mengingkari orang-orang yang merayakan Maulid Nabi. Seakan-akan mereka mempertanyakan, mengapa kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw? Maka apakah pertanyaan tersebut pantas diungkapkan oleh orang Islam yang beriman, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad Saw. adalah Utusan Allah?

Pertanyaan bodoh yang tidak butuh jawaban dan orang yang ditanya cukuplah dijawab, saya merayakan Maulid Nabi sebagai ungkapan rasa senang, dan cinta karena saya adalah orang yang beriman.

Tujuan Perayaan Maulid Nabi

Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa tujuan dari merayakan Maulid Nabi tidak lain sebagai representasi rasa senang seseorang atas lahirnya sosok Nabi Muhammad Saw. Di dalam seremonial Maulid Nabi yang telah marak terlaksana di bumi Nusantara, terdapat beberapa aspek penting yang dilaksanakan; mulai dari berkumpul untuk mendengarkan sejarah beliau, membaca selawar, mendengarkan pujian-pujian yang dilantunkan kepadanya, memberikan makanan, memuliakan orang-orang fakir dan yang membutuhkan, serta mengembirakan hati para pecinta Nabi Muhammad Saw.

Perkumpulan semacam ini bisa menjadi wasilah, media yang sangat besar untuk mengajak mendekat kepada Allah Swt. Dan ini merupakan kesempatan emas untuk mengingatkan umat tentang akhlak, ibadah, dan sisi sosial Rasulullah, agar menjadi motivasi untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, serta sesuai dengan ajaran syariat Islam.

Perayaan Maulid Nabi bukanlah sarana hura-hura, pamer kekayaan, atau berlomba-lomba menyajikan makanan semenarik mungkin. Bukanlah itu tujuannya, melainkan sebagai wasilah untuk mendapatkan rida Allah Swt., ingin mendapatkan cinta dari Rasulullah Saw.

Orang yang Pertama Kali Merayakan Maulid Nabi

Kalau perayaan Maulid Nabi dianggap sebagai hal baru, pekerjaan bidah yang keluar dari ajaran Islam, sunggah asumsi itu sangatlah keliru. Sebab, sejatinya orang yang merayakan maulid pertama kali adalah shāhibul maulid, yakni Nabi Muhammad Saw. itu sendiri. Sebagaimana keterangan dari hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Ketika Nabi ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab: ذاك يوم ولدت فيه, hari senin adalah hari  kelahiranku. Hadis ini paling sahih dan sharih, paling jelas di dalam legalitas perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. Bahkan, kalau kita mau lebih jauh dan lebih jernih memahami tentang esensi dari Maulid Nabi, yaitu bentuk rasa senang akan lahirnya sosok Nabi Muhammad Saw.

Maka orang yang pertama kali merayakan maulid Nabi sebenarnya adalah Abu Lahab yang telah divonis celaka oleh Allah Swt. sebagaimana terekam jelas dalam al Quran, tabbat yada abi lahabin, sungguh binasa Abi Lahab.

Ceritanya Abu Lahab ketika mendengar berita gembira dari budaknya yang bernama Tsuwaibatul Aslamiyah, tentang telah dilahirkannya Nabi Muhammad Saw. Dia (Abu Lahab) kemudian memerdekakan budaknya tersebut, sebagai bentuk rasa gembira atas lahirnya Nabi SAW.

Perbuatan Abu Lahab ini kemudian menjadi musabab dia selalu diringankan siksaanya pada setiap hari Senin. Seperti diriwayatkan, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib bermimpi bertemu Abu Lahab setelah kematiannya, lalu beliau menanyakan keadaanya (Abu Lahab), kemudian Abu Lahab menjawab, “Saya tidak menemukan kebaikan setelah kalian, selain sesungguhnya aku diberi minuman di neraka ini, sebab aku telah memerdekakan Tsuwaibah, dan sungguh diringankan siksaanku setiap hari senin”.

Kemuliaan ini diberikan oleh Allah Swt. untuk memuliakan Nabi Muhammad Saw., yang diperlakukan baik oleh orang kafir (Abu Lahab). Mengenai masalah ini al-Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad-Dimisyqi melantunkan sebuah syair:

إذا كان هذا كافرا جاء ذمه # بتبت يداه في الجحيم مخلدا
أتى أنه في يوم الاثنين دائما # يخفف عنه للسرور بأحمدا
فما الظن بالعبد طول عمره # بأحمد مسرورا ومات موحدا

Artinya: “Ketika orang kafir ini (Abu Lahab), yang dicela dengan tabbat yada (binasa jasadnya)” dineraka jahim selamanya. Pada hari Senin selalu diringankan siksanya sebab gembira dengan Nabi Ahmad (Muhammad). Maka bagaimana dengan seorang hamba yang sepanjang umurnya gembira dengan Nabi Ahmad dan mati dengan bertauhid.”

Kesalahan besar menganggap perayaan Maulid Nabi sebagai perbuatan bidah. Padahal sebenarnya Nabi Muhammad Saw. sendiri yang telah mengajarkan kita, bagaimana Beliau bersyukur kepada Allah Swt. atas kelahirannya.

Sungguh orang-orang yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi tidak lain hanya kekurangan mereka dalam membaca sejarah Nabi Saw. atau memang menutup mata di tengah kilaunya gemerlap cahaya yang begitu terangnya.

Cukuplah tulisan di atas sebagai bukti bahwa perarayaan Maulid Nabi merupakan perbuatan yang terpuji. Kurang tercela apa seorang Abi Lahab, tapi berkat bahagia dan gembiranya di saat lahirnya Nabi Muhammad Saw. kemudian dia diringankan siksanya pada setiap Senin. Lalu bagaimana kita bisa mengharamkannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Khoirul Anam, Presiden DEMA Ma’had Aly Nurul Cholil (Dewan Eksekutif Maha Santri Ma’had Aly Nurul Cholil)

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here