KajianNews

Apakah Takdir Bisa Diubah? Jika Tidak, Untuk Apa Kita Diperintah Berusaha dan Berdoa? #1

Qada adalah pengetahuan Allah sejak azalīy atas setiap hal-hal yang akan terjadi dan tercipta. Sedangkan qadar adalah aktualisasi dan perwujudan dari pengetahuan Allah.

Ilustrasi: Tumpukan catatan takdir manusia—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Dengan demikian, pertanyaan “bisakah kita mengubah takdir Allah?” bisa bermakna “bisakah kita mengubah pengetahuan Allah?” Jelas, sifat pengetahuan/ilmu Allah, layaknya sifat wajib yang lain tidak akan mengalami perubahan, sebagaimana hal ini ditegaskan Imam Muhammad As-Sanusi dalam karya monumentalnya, syarh al- Aqīdah al-Kubrā. Ini adalah keputusan final seluruh Teolog Sunni.

Alasannya sederhana; apa yang ada pada Dzat Allah tidak akan mengalami perubahan. Sebab, perubahan meniscayakan kebaharuan (hudūts), yang merupakan sifat makhluk, yang berkonsekuesi butuh pada yang membarukan/mengadakan (muhdits).

Dan ini tentu mustahil bagi Allah. Sehingga menghasilkan konklusi; sifat ilmu yang ada pada Dzat Allah selamanya tidak akan pernah berubah.Hanya saja, sifat ilmu Allah memiliki korelasi dan keterkaitan (ta’alluq) dengan sesuatu yang diketahui (ma’lūmāt). Semua yang diketahui Allah sejak azāliy bahwa itu akan terjadi, pasti terjadi sesuai dengan pengetahuannya.

Mudahnya, ada istilah “pengetahuan” itu sendiri, dan ada “sesuatu yang diketahui”. Dan apa yang terjadi yang sesuai dengan pengetahuan Allah inilah yang dimaksud takdir dalam konteks lumrahnya manusia.

Jadi, jika yang dikehendaki dengan istilah takdir adalah “sesuatu yang diketahui Allah”, maka apabila ditanya, “apakah kita dapat mengubah takdir Allah?” Ini berarti senada dengan, “apakah kita dapat mengubah sesuatu yang diketahui Allah?” Berikut jawaban beserta argumentasinya.

Pertama, kata Nuruddin (seorang sarjana pakar teologis), pertanyaan ini kurang tepat. Istilah “mengubah takdir” adalah istilah yang kurang tepat. Pertanyaan demikian mengandung asumsi bahwa kita tahu akan takdir Allah, sehingga ingin mengubahnya, lalu bertanya apakah takdir dapat diubah? Padahal, kita sama sekali tidak mengetahui takdir Tuhan.

Kita tahu sesuatu itu ditakdirkan hanya ketika itu benar-benar telah terjadi.Karena kita tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah pada kita kecuali setelah terjadinya takdir tersebut, maka yang kita sangka “mengubah takdir” itu sebenarnya bukan “mengubah”, melainkan hanya “upaya” untuk mencapai kemungkinan (mumkināt) yang lebih baik.

Atas dasar apa kita ingin mengubah takdir, sementara kita sendiri tidak tahu apa yang akan Allah takdirkan untuk kita? Kalaupun ‘ngotot’ mau mengubah takdir, sebenarnya upaya mengubahnya beserta hasil dari upaya itu pun adalah bagian dari takdir juga. Tidak ada yang lepas dari takdir. Semuanya, baik sebelum, sedang, dan yang akan terjadi, semua terekam rapi dalam pengetahuan dan kehendak Allah.

Maka, upaya sedekah dan silaturahmi agar panjang umur—berlandasan hadits sedekah— itu juga bagian dari takdir. Bukan mengubah takdir.

Argumentasi ini senada dengan jawaban Sayyidina Umar, yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihyā’ Ulūmiddīn, tatkala Umar berupaya menghindar dari wabah di kota Syam yang hendak ia tuju.

“Apakah Anda ingin lari dari takdir Allah?” tanya Abu Ubaidah.

Umar menjawab, “Iya, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apakah kamu tidak sadar, andai kamu memiliki unta, lalu datang pada suatu lembah yang memiliki dua lahan tanah, yang satu subur, sedangkan satunya tandus. Bukankah jika kamu mengembala di lahan subur itu adalah takdir Allah, begitupun jika mengembala di lahan tandus itu juga takdir Allah?!”

Umar memahami, bahwa usaha menghindar dari wabah juga bagian dari takdir, sebagaimana menetap di daerah wabah itu juga takdir. Bukan mengubah takdir. Melainkan upaya untuk mencapai kemungkinan terbaik yang masih belum pasti; yakni terhindar dari wabah.

Kedua, sifat ilmu yang ada pada Dzat Allah itu pasti sesuai dengan realita dan kenyataan (Al-muthābiq Lilwāqi’). Artinya, setiap sesuatu yang Allah ketahui akan terjadi dan tercipta, itu pasti akan terjadi sesuai dengan pengetahuan-Nya. Sebab jika tidak, maka berarti pengetahuan Allah tidak sesuai dengan kenyataan.

Sedangkan pengetahuan yang tidak sesuai kenyataan itu bukan pengetahuan, melainkan kebodohan. Konsekuensinya, berarti Allah bodoh, sebab pengetahuan-Nya tidak tepat. Sedangkan kebodohan (jahlun) bagi Allah, semua ulama Mutakallimin dan orang berakal pasti mengingkarinya.

Alhasil, jika sesuatu yang Allah ketahui bahwa itu akan terjadi dapat diubah, niscaya pengetahuan Allah tidak sesuai dengan sesuatu yang Allah ketahui. Allah mengetahui bahwa Zaid akan tercipta, ternyata berubah tidak tercipta. Allah mengetahui bahwa Zaid akan meninggal 2022, ternyata berubah sampai 2023.

Ilustrasi: Seoarang sedang berwujud menanggalkan semua akunnya di hadapan sang Khāliq—(Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Tentunya hal ini menyalahi konsep ilmu yang wajib/pasti sesuai dengan kenyataan. Sebab, pengetahuan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu bukan pengetahuan, melainkan kebodohan. Dan akal sehat kita tidak akan menerima Dzat pencipta semesta bodoh.

Kesimpulannya, meyakini bahwa takdir Allah dapat berubah, sama halnya meyakini bahwa Allah bodoh.

Ketiga, Syekh Zakariya al-Anshariy (W. 926 H.), dalam Gāyah al-Wushūl Syarh Lubbil Ushūl, beliau menguraikan definisi as-sa’īd; yaitu orang yang diketahui Allah sejak azalīy, bahwa ia akan maninggal dalam keadaan beriman. Sedangkan as-Syaqiy sebalikanya; yaitu orang yang diketahui Allah sejak Azalīy, bahwa ia akan maninggal dalam keadaan kafir. Lalu beliau menjelaskan, bahwa keduanya tidak akan terganti satu sama lain (Lā Yatabaddalāni), tidak akan berubah.

Artinya, apapun yang tercatat sejak Azalīy—dalam hal ini yang Azalīy adalah Ilmu pengetahuan Allah—tidak akan mengalami perubahan dan pergantian. Beda halnya dengan yang ada di Lauhulmahfuz, maka memungkinkan berubah. Dan, kata Syekh Zakariya, khilaf antara ulama terkait bisa atau tidaknya takdir berubah, itu diarahkan pada hal ini. Yakni takdir yang tercatat dalam pengetahuan Allah itu tidak akan pernah berubah sama sekali.

Sedangkan yang tercatat di Lauhulmahfuz boleh-boleh saja berubah. Untuk memperkuat, beliau mengutip QS. Ar-Ra’duAr-Ra’du ayat 39:

يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب

Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummuk Kitab.”

“Ummul Kitab” adalah istilah yang di situ terdapat ketetapan dan takdir yang tidak akan berubah. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait penafsiran “Ummuk kitab”

,عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَأَلَ كَعْبًا عَنْ أُمِّ الْكِتَابِ، فَقَالَ: عِلْمُ اللَّهُ مَا هُوَ خَالِقٌ وَمَا خَلْقُهُ عَامِلُونَ—ابن كثير، تفسير ابن كثير ط العلمية، ٤٠٥/٤

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia bertanya pada Ka’ab terkait penafsiran “Ummuk kitab”. Lantas, Ka’ab menjawab, “(Ummul kitab) adalah ilmu/pengetahuan Allah terkait sesuatu yang Dia ciptakan dan sesuatu yang makhluk-Nya kerjakan.”

Artinya, sebagaimana di atas, bahwa Ummul kitab ini adalah Ilmu Allah yang mana setiap sesuatu yang ditetapkan atas dasar ilmu tersebut itu tidak akan pernah berubah dan digantikan dengan ketetapan lain. Berbeda dengan ketetapan yang ada di Lauhulmahfuz yang masih bisa berubah.

Namun, perlu dicatat, perubahan takdir yang tercatat di Lauhulmahfuz ini sebenarnya sama sekali tidak benar-benar berubah. Akan tetapi, memang sesuai dengan pengetahuan Azalīy Allah. Sebagaimana uraian argumentasi kedua di atas.

Setelah kita tahu, bahwa takdir tidak dapat diubah, mungkin kita akan bertanya-tanya, lantas untuk apa Allah memerintahkan kita berusaha dan berdoa? Kita akan bahas pada kesempatan selanjutnya.

Laisa fil imkān abdā’u mimmā kānā.

Rujukan:

– Ghāyah al-Wushūl Syarh Lubbil Ushūl;

– Tafsir Ibnu Katsīr;- Ihyā’ Ulumiddīn,

– Seri ilmu kalam Seputar Ketuhanan;

– Syarh al- Aqīdah al-Kubrā; dan

– Kitab-kitab teologi Imam as-Sanusi.

Penulis: Ahmad Hamidi, Pembina Aswaja Center PP. Nurul Cholil.

Editor: Syifaul Qulub Amin

Comment here