nubangkalan.or.id—Berbicara tentang seni dalam Islam, Hadrah ISHARI NU adalah salah satu warisan yang tidak hanya menarik untuk ditelisik, tetapi juga memiliki kedalaman makna spiritual. Tradisi ini bukan sekadar lantunan selawat, tetapi sebuah perjalanan panjang yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menyatukan budaya, agama, dan seni dalam harmoni yang indah.
Awalnya, ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) tumbuh dari dedikasi seorang ulama besar, Al-Habib Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Ali Bafaqih, yang membawa tradisi Mahabbaturrosul ke tanah Jawa pada abad ke-19. Beliau tidak hanya memperkenalkan bacaan selawat, tetapi juga menanamkan nilai-nilai cinta kepada Rasulullah ﷺ melalui seni. Ini bukan hanya tradisi, tetapi bentuk ekspresi cinta yang dihidupkan bersama-sama oleh masyarakat, tanpa perbedaan.
Setelah wafatnya Habib Syekh pada tahun 1888 M., tradisi ini tidak mati. Sebaliknya, ia hidup melalui murid-murid beliau yang setia melanjutkan perjuangannya. Nama-nama seperti Habib Abdullah Bafaqih, K.H. Abdurrahman, dan Syekh Abdurrohman Al-Baweani adalah bagian dari mata rantai keilmuan ini. Hingga akhirnya, pada tahun 1918 selawat hadrah ini dikembangkan oleh K.H. Abdurrahim bin Abdul Hadi di Pasuruan, dan lahirlah kelompok-kelompok hadrah yang didirikan oleh para santrinya yang menjadikan selawatan hadrah ini dikenal dengan Hadrah Durahiman.
Pada masa penjajahan di mana kebebasan berkumpul masyarakat pribumi diawasi ketat, kegiatan kesenian hadrah berperan penting dalam aktifitas konsolidasi para ulama yang membahas masalah-masalah keummatan, karena izin yang diberikan oleh pemerintahan penjajah untuk mengadakan kesenian hadrah ini dimanfaatkan untuk musyawarah para ulama.
Setelah masa kemerdekaan, ketika gerakan penyebaran paham komunis berkembang pesat, termasuk penyebaran melalui media kesenian dan budaya, maka atas inisiatif K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang saat itu menjadi Rais Am PBNU, kelompok-kelompok hadrah yang sudah eksis melaksanakan pembacaan selawatan hadrah itu diorganisir untuk menandingi kelompok-kelompok kesenian dan budaya milik PKI.
Puncaknya pada tahun 1959, berdirilah organisasi ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia). Melalui kegiatan-kegiatan ISHARI inilah upaya perlawanan budaya terhadap paham komunisme dilakukan oleh para ulama sekaligus untuk membentengi masyarakat santri dari pengaruh paham komunisme yang disebarkan oleh PKI pada masa itu.
Pada titik ini, perjalanan ISHARI mulai menarik. Di tengah transformasi menjadi organisasi resmi, ISHARI tidak selalu berjalan mulus. Ia mengalami perubahan status, dari badan otonom NU hingga sempat berada di bawah Lembaga Seni Budaya NU (LSB NU) dan Lembaga Thariqah An Nahdliyyah (LTMN). Namun, seperti sebuah pohon yang akarnya kokoh, ISHARI tetap bertahan. Pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015, ISHARI akhirnya kembali ditetapkan sebagai Badan Otonom NU, mempertegas peran pentingnya di dalam tubuh organisasi ini.
Keputusan pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015 merupakan angin segar bagi para anggota dan simpatisan ISHARI. Dalam forum yang dilaksanakan pada 1—5 Agustus 2015 tersebut, ISHARI kembali diakui sebagai Badan Otonom NU. Hal ini mempertegas eksistensi ISHARI sebagai wadah seni Islami yang mendukung visi dan misi Nahdlatul Ulama dalam melestarikan tradisi keagamaan yang berakar pada budaya lokal.
Perkembangan ini diikuti dengan MUNAS ISHARI ke-2 yang dilaksanakan pada 20—22 Oktober 2017 di Pondok Pesantren Minhajul Abidin, Jombang. Dalam forum tersebut, para pengurus dan anggota ISHARI dari berbagai daerah berkumpul untuk membahas berbagai isu strategis, termasuk pembaruan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. MUNAS ini menjadi momentum penting untuk menguatkan peran ISHARI di tengah dinamika zaman yang terus berubah.
Selanjutnya, pada Muktamar ke-34 yang diselenggarakan pada 23—25 Desember 2021, ISHARI tetap dipertahankan sebagai Badan Otonom NU. Keputusan ini menjadi bukti bahwa ISHARI tetap relevan di tengah perkembangan organisasi dan tantangan zaman. Dengan statusnya sebagai Badan Otonom, ISHARI terus berkomitmen untuk menjaga tradisi hadrah sebagai sarana spiritual dan kultural yang memperkuat nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat.
Lalu, apa yang membuat ISHARI tetap relevan? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuannya untuk tetap menjadi jembatan antara seni dan spiritualitas. Dalam setiap lantunan selawat dan setiap irama hadrah, ada pesan cinta, ada semangat kebersamaan, dan ada doa yang mengalir. Inilah yang membuat ISHARI lebih dari sekadar warisan budaya; ia adalah energi yang menghidupkan ruh keislaman dalam bentuk yang menyentuh hati.
Kini, ISHARI NU bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga wajah Islam yang lembut dan penuh seni. Dalam setiap kegiatannya, ISHARI menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ritual, tetapi juga tentang keindahan, harmoni, dan cinta. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa seni bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sekaligus memperkuat ikatan sosial di antara umat.
Dengan semua perjalanan panjang dan dinamikanya, ISHARI NU adalah bukti bahwa tradisi, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, membawa pesan abadi tentang cinta dan keindahan. Bagi siapa saja yang ingin memahami Islam dari sudut pandang yang berbeda, ISHARI adalah tempat di mana seni bertemu dengan spiritualitas, menciptakan harmoni yang memikat dan menginspirasi.
Referensi: Kitab Iqdu Durari, karya Muhammad Nuruddin Pasuruan (Ketua Tanfidziyah ISHARI Jawa Timur Periode 2019—2024)
Penulis: Fahrizal Rahman/Departemen Peningkatan SDM & Kreativitas, PC. ISHARI NU Bangkalan
Editor: Syifaul Qulub Amin/LTN PCNU Bangkalan
Comment here